Warta Kema – Iklan pada dasarnya dibuat untuk mempromosikan produk yang dimiliki oleh sebuah perusahaan. Selain memanfaatkan berbagai media untuk memasang iklan, perusahaan seringkali menjadikan perempuan sebagai model agar menarik perhatian orang untuk melirik produk mereka. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa iklan merupakan salah satu produk hasil objektifikasi terhadap perempuan.
Virliya Putricantika selaku manajer multimedia sekaligus fotografer di BandungBergerak.id, menjelaskan bagaimana fenomena objektifikasi perempuan dalam media dapat terjadi Pada Rabu (03/04), dalam webinar bertema women empowerment yang berjudul “Pemahaman Kritis Terhadap Objektifikasi Perempuan dalam Media”, ia mengatakan bahwa media atau pers di Indonesia masih jauh dari pemahaman yang menggunakan sudut pandang perempuan. Oleh karena itu, fenomena objektifikasi perempuan tidak dapat dihindarkan. Salah satu alasan media melakukan hal tersebut ialah karena media terfokus pada algoritma dan akan memilih kata kunci yang paling digandrungi masyarakat. Dalam iklan komersial pun objektifikasi perempuan telah dilakukan sejak lama.
Iklan pakaian seperti Calvin Klein, otomotif seperti Porsche, bahkan iklan makanan cepat saji seperti Carl’s Jr bertahun-tahun yang lalu pernah membuat iklan yang melakukan objektifikasi perempuan secara terang-terangan. Perempuan ditampilkan dengan pakaian minim dan pose yang erotis. Pola yang sama dapat ditemukan dalam iklan-iklan tersebut, yaitu menempatkan perempuan sebagai sebuah objek yang dapat dinikmati, dimiliki, bahkan dipamerkan seperti produk yang mereka tawarkan. Perusahaan tentu mengerti bahwa perempuan menjadi suatu hal yang dapat menarik target pasarnya.
Pandangan bahwa perempuan hanyalah sebuah objek yang tidak memiliki perasaan dan tidak dapat melakukan perlawanan lahir dari stereotip yang menganggap perempuan adalah makhluk yang tidak berdaya. Selain harus melawan tubuh yang dieksploitasi untuk kepentingan komersial, perempuan juga harus melepaskan stereotip yang melekat pada diri mereka. Dalam sebuah iklan, perempuan yang menjadi model memiliki tampilan yang hampir sama. Mereka harus cantik agar menarik perhatian dan “menjual”. Berkulit putih, berbadan langsing, dan memiliki payudara yang besar. Artinya, perempuan dengan ciri selain yang telah disebutkan tidak bisa dikatakan cantik.
Objektifikasi perempuan dalam iklan komersial meresahkan perempuan lain yang menjadi audiens iklan tersebut. Rasa tidak nyaman dapat muncul secara naluriah setelah melihat bagian tubuh yang sama dipertontonkan. Karena itu, perempuan harus melakukan upaya agar cukup berdaya untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman.
Dalam forum diskusi Women Lead Forum 2021 yang diadakan media daring Magdalene dan IBCWE (Indonesia Business Coalition for Women Empowerment), tiga narasumber wanita mengatakan bahwa kurangnya pemahaman soal gender mengakibatkan representasi buruk soal perempuan masih banyak dijumpai dalam media, termasuk iklan.
Editor in Chief Magdalene, Devi Asmarani, berbicara dalam forum, “Ada juga representasi buruk soal perempuan, masih mengobjektifikasi, menseksualisasi perempuan. Perempuan masih digambarkan lewat male gaze atau perspektif maskulin.” Oleh karena itu, dialog dan diskusi soal perspektif gender penting dilakukan.
Namun, upaya untuk mengatasi berbagai macam isu perempuan termasuk objektifikasi tidak cukup sampai di situ. Perempuan harus diberikan kesempatan untuk mengambil peran dan perempuan harus mau mengambil kesempatan itu. Percaya dan menghargai diri sendiri akan menumbuhkan keyakinan bahwa semua orang mampu mengambil kesempatan yang tersedia tanpa melihat gender. Lingkungan yang mendukung juga diperlukan agar tercipta perubahan untuk perempuan dan media. Di sisi lain,yang dapat dilakukan oleh media dan perusahaan ialah memperbaiki cara mereka menggambarkan perempuan seperti dalam artikel atau iklan komersial. Dengan begitu, kedepannya diharapkan media dan perusahaan dapat melakukan promosi tanpa mengobjektifikasi perempuan.
Reporter: Astrid Ridzkyani
Editor: Intan Firdauza