
Warta Kema – Pada Selasa (18/11), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna DPR. Pengesahan ini berlangsung mengikuti persetujuan yang ditemui pada rapat pengambilan keputusan tingkat I di Komisi III DPR RI Kamis (13/11) lalu. Undang-undang ini akan berlaku mulai Januari 2026.
Pengesahan RKUHAP ini memicu kontroversi karena adanya sejumlah pasal yang dianggap membahayakan keamanan masyarakat. Tanpa terkecuali, semua yang teridentifikasi sebagai warga negara Indonesia dapat ditangkap sewenang-wenangnya oleh aparat melalui aturan yang tertera pada Pasal 89 yang menyatakan bahwa tersangka bisa ditangkap hanya dengan memperlihatkan surat tugas. Surat tugas ini mencakup identitas, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. Dilanjutkan pada Pasal 90 yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan paling lama satu hari, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Keputusan ini dianggap kontroversial karena dinyatakan tanpa adanya standar tertentu untuk penangkapan, sehingga aparat dapat melakukan penangkapan sewenang-wenangnya.
Sejumlah pasal di RKUHAP ini juga dinilai memberikan Polisi Republik Indonesia (Polri) kendali di luar kewenangan mereka, sebagaimana yang tertera pada Pasal 6, 7 dan 8 yang memberikan wewenang kepada Polri untuk mengawasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu. Pasal-pasal ini juga memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Hal ini diikuti oleh Pasal 16 yang memberikan wewenang kepada penyelidik untuk menggunakan metode investigasi seperti penyamaran, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan di bawah pengawasan, yang berpotensi untuk memanipulasi tindakan pidana terhadap tersangka.
Selain itu, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau bangunan, pakaian, badan, alat transportasi, informasi elektronik, dokumen elektronik atau benda lainnya, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 105. Namun, penyidik berhak untuk melakukan penyitaan pada benda bergerak apabila dalam keadaan mendesak sessuai dengan subyektivitas penyidik, sesuai dengan Pasal 112. Tidak dicantumkan standar dari keadaan mendesak sehingga hanya penyidik yang dapat menilai situasi tersendiri ketika melakukan penyelidikan.
Tidak hanya itu, Pasal 137 menyatakan bahwa penyandang disabilitas tetap diberikan peluang penghukuman tanpa batas waktu. Segala kebutuhan dari penyandang disabilitas dalam proses penyelidikan diatur oleh KUHAP dan dipertanggungjawabkan secara langsung oleh aparat penegak hukum. Dengan ini, segala hal yang berkaitan dengan pendampingan juga perlindungan dipegang secara langsung oleh kepolisian.

Menanggapi pengesahan RKUHAP, mahasiswa dan Koalisi Masyarakat Sipil menggelar aksi di depan Gerbang Pancasila DPR RI. Pada pukul 11.45 WIB, mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) langsung meminta petugas keamanan yang berjaga untuk membuka gerbang. Sementara itu, massa aksi juga memblokade Jalan Gelora serta memberhentikan mobil dengan pelat merah dan pelat polisi. Selama momen tersebut berlangsung, massa aksi menyuarakan tuntutan mereka di depan para pengendara. Sekitar pukul 15.00 WIB, para demonstran menggelar spanduk-spanduk dengan pesan penolakan terhadap KUHAP. Aksi pada sore itu juga dilengkapi dengan penyampaian orasi dengan permintaan agar DPR mencabut KUHAP yang baru saja diputuskan. Pada puku;l 18.20 WIB, massa mulai membubarkan diri. Para ketua aliansi BEM memutuskan untuk menggugat KUHAP ke pihak Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji formil.
Dilansir dari Tempo, Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, menanggapi aksi demonstrasi dengan menyatakan bahwa pihak-pihak yang tidak setuju dengan revisi KUHAP dapat mengajukan uji konstitusionalisme ke MK. Pernyataan ini disiarkan untuk merespons pengaduan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP terhadap beberapa anggota Komisi III DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Pengaduan ini berdasarkan pada pelanggaran kode etik selama pembahasan rancangan Undang-Undang KUHAP. Cucun juga menambahkan apabila ada yang tidak setuju dengan isi yang disampaikan, maka pihak tersebut dapat membuat sebuah judicial review.
Pengesahan RUU KUHAP ini menandai perluasan wewenang aparat dalam negeri terhadap warga sipil. Dengan ini, keamanan seluruh lapisan masyarakat Indonesia rentan di tangan aparat yang berkuasa. Tindakan seperti penangkapan dan penyelidikan di luar ranah hukum akan dinormalisasi. Perluasan dari kuasa aparat ini memunculkan sebuah pertanyaan: apakah keputusan ini dibuat untuk melindungi hak rakyat, atau justru membatasi ruang geraknya?
Reporter: Andrea Hillary Gusandi, Alifia Pilar Alya Hasani
Editor: Ammara Azwadiena Alfiantie
