Di salah satu titik Kota Bandung, tepatnya di depan Kantor DPRD Provinsi Jawa Barat pada hari Kamis (22/08) digelar aksi unjuk rasa yang dihadiri oleh ratusan massa dari berbagai lapisan dan elemen masyarakat, salah satunya Komunitas Aksi Kamisan Bandung, Front Rakyat Gugat Negara, hingga para mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi (PT) di wilayah Bandung Raya.
Aksi ini merupakan bagian dari protes masyarakat mengenai kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengesahkan RUU Pilkada mengenai batas usia dan threshold yang sekaligus membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehari sebelumnya. Kebijakan ini dianggap berkaitan erat dengan isu nepotisme dan mencederai konstitusi.
Pasalnya, dengan kebijakan tersebut maka putra bungsu Presiden Jokowi, yaitu Kaesang Pangarep dapat mendaftar sebagai salah satu Calon Wakil Gubernur di wilayah Jawa Tengah. Sementara itu di wilayah Jakarta, kebijakan ini akan memastikan bahwa pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung oleh koalisi KIM plus akan menjadi satu-satunya pasangan yang diusung oleh partai politik, di mana PDIP gagal untuk mengusung calonnya sendiri tanpa koalisi.
Aksi demonstrasi di depan DPRD Jawa Barat dimulai dengan orasi dan aksi teatrikal dari beberapa demonstran. Orasi tersebut mengungkapkan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja dari pemerintah. Sikap badan eksekutif dan legislatif yang hanya mengutamakan kepentingannya sendiri membuat kondisi masyarakat menjadi tertindas dan mengenaskan.
Demonstrasi semakin memanas seiring berjalannya waktu. Demonstran mulai melakukan pembakaran road barrier dan spanduk-spanduk dengan gambar Prabowo Subianto dan para anggota DPRD sebagai wujud kekecewaan mereka.
Dalam wawancara langsung dengan Warta Kema pada Kamis (22/08), salah satu koordinator aksi dari Front Rakyat Gugat Negara, Indra menekankan bahwa aksi yang dilaksanakan merupakan akumulasi dari berbagai masalah keseharian hidup masyarakat, tidak terbatas pada isu RUU Pilkada saja. Ia mengatakan bahwa dalam aksi hari ini setiap orang dari berbagai profesi, berbagai status bisa menyuarakan keresahannya.
“Tidak ada tuntutan spesifik dalam aksi kali ini, karena setiap orang bebas menyuarakan kesusahannya masing-masing. Seperti buruh yang dieksploitasi oleh perusahaan, mahasiswa yang mahal UKT-nya, masyarakat yang tergusur secara tidak adil rumahnya dan lainnya bebas menuntut dalam aksi kali ini,” jelas Indra.
“Aksi tentu harus dilaksanakan harian ya, untuk setiap isu ketidakadilan yang ada. Masalah Pilkada menjadi trigger warning bagi masyarakat karena hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah bahkan berani untuk melanggar konstitusi,” tegas Indra.
Indra juga menyatakan bahwa aksi hari ini akan terus dilanjutkan dalam berbagai bentuk perjuangan dan di berbagai lokasi yang diperlukan. Bahkan, menurutnya perjuangan tersebut harus menyebar ke kota-kota lainnya hingga unsur-unsur terkecil seperti kecamatan dan RT/RW.
Reporter: Raja Azhar
Editor: Zulfa Salman