Bukan hanya anjing dan kucing, bayi primata juga menjadi incaran hewan peliharaan masyarakat karena dianggap ‘eksotis’ dan menarik. Wajah kecil dan mata besarnya yang lucu, serta tingkahnya yang mudah diatur sejak dini membuat mereka menjadi hewan peliharaan yang banyak dicari.
Namun, kenyataannya adalah IUCN telah menyatakan bahwa primata Indonesia termasuk dalam kategori kritis dan merupakan hewan yang dilindungi. Tak hanya itu, penangkapan primata yang kemudian dijual dilakukan dengan tindakan yang brutal dan tidak etis.
Ida Masnur, seorang dokter hewan di the Aspinall Foundation Jawa Barat, mengatakan bahwa perburuan primata masih marak karena kelucuan anak-anak primata dan minat masyarakat untuk memeliharanya. “Masih kecil kan lucu kayak boneka jadi orang senang piara tapi nggak mikir si satwa ini dapatnya (gimana),” ucapnya.
Dampak Tren Saat Pandemi
Tingginya penggunaan internet pada masa COVID-19 memberikan media sosial pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga berpengaruh terhadap tren memelihara primata yang perlahan mulai naik saat pandemi.
Riset Kukangku tahun 2022 tentang tren pelihara monyet menunjukkan bahwa konten pelihara primata meningkat secara signifikan, yang tadinya hanya terdapat 876 konten di tahun 2019 langsung melesat dua kali lipat di tahun selanjutnya.
Salah satu penyumbang maraknya tren ini adalah influencer yang mengunggah konten primata peliharaan mereka ke dalam media sosial. Seringkali mereka memperlakukan monyet peliharaan mereka seperti bayi manusia dan bukan hewan, seperti memberikan mereka makanan manusia dan dipakaikan baju. Padahal, mereka adalah satwa liar arboreal yang harusnya tinggal di ketinggian pepohonan. Infantilisasi primata ini menyebabkan mereka kehilangan insting yang seharusnya mereka miliki untuk hidup di hutan liar.
Hal ini tentunya memiliki konsekuensi sendiri, baik bagi manusia ataupun primata yang dipelihara. Banyak kasus penyerahan primata ke konservasi atau kepolisian ketika mereka sudah besar karena mulai menunjukkan sikap ganas mereka dengan omon-omon menemukan mereka di kota padahal tingkah laku mereka tidak seperti satwa liar yang tersasar ke kota.
Tak hanya itu, nyatanya pemilik primata yang aktif di media sosial banyak yang tidak mengetahui kekejian di balik perburuan yang dilakukan demi mendapatkan peliharaan kesayangan mereka.
Tingginya penggunaan internet pada masa COVID-19 memberikan media sosial pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga berpengaruh terhadap tren memelihara primata yang perlahan mulai naik saat pandemi.
Riset Kukangku tahun 2022 tentang tren pelihara monyet menunjukkan bahwa konten pelihara primata meningkat secara signifikan, yang tadinya hanya terdapat 876 konten di tahun 2019 langsung melesat dua kali lipat di tahun selanjutnya. Salah satu penyumbang maraknya tren ini adalah influencer yang mengunggah konten primata peliharaan mereka ke dalam media sosial. Seringkali mereka memperlakukan monyet peliharaan mereka seperti bayi manusia dan bukan hewan, seperti memberikan mereka makanan manusia dan dipakaikan baju. Padahal, mereka adalah satwa liar arboreal yang harusnya tinggal di ketinggian pepohonan. Infantilisasi primata ini menyebabkan mereka kehilangan insting yang seharusnya mereka miliki untuk hidup di hutan liar.
Perburuan Ilegal: Proses dan Dampaknya
Naluri kebuasan primata yang merupakan satwa liar menjadi salah satu alasan mengapa pemburu hanya memperjualbelikan primata sebagai peliharaan saat masih kecil.
“Nah, orang biasanya berburu kan yang masih kecil-kecil, yang masih bisa istilahnya dilatih. Kan kalau udah gede mah nyerang,” ujar Ida mengenai sikap buas primata yang diburu. Ia kemudian menjelaskan bahwa perburuan dilakukan dengan memisahkan induk dan anak primata secara paksa.
Ida mengatakan bahwa dalam kasus perburuan lutung massal di Jawa Timur, digunakan misting net supaya langsung mendapatkan satu kelompok primata. Dalam kasus seperti ini, mereka akan menyortir anak-anak primata untuk dijual dan induknya yang langsung dibunuh.
“Jadi mereka sortir anakannya mereka pilih mereka bawa untuk dijual, nah induk-induknya ini (di) eksekusi biasanya untuk dagingnya diambil untuk campuran untuk ngoplos daging,” jelasnya.
Oplosan daging ini juga berbahaya bagi manusia karena adanya zoonosis yang merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan juga sebaliknya. Bukan hanya untuk oplosan, daging monyet juga masih suka digunakan sebagai bentuk obat alternatif karena dipercaya bisa mengobati segenap penyakit kulit. Tentu hal ini tidak benar, konsumsi daging monyet hanya memberikan resiko besar terhadap manusia untuk kontak dengan penyakit yang mungkin dimiliki oleh satwa tersebut sebelumnya.
Rehabilitasi dan Peran Primata dalam Ekosistem
Dampak dari perdagangan dan pemeliharaan primata ilegal seringkali membuat primata membutuhkan bantuan rehabilitas panjang. Ida pun menceritakan proses panjang dari rehabilitasi primata yang dipelihara secara ilegal.
Rehabilitasi primata bukanlah proses singkat. Saat seekor lutung tiba di pusat konservasi, ia langsung masuk ke karantina selama minimal tiga bulan. Di sana, satwa ini beradaptasi dengan pola hidup dan makan yang benar, setelah sebelumnya sering dipelihara secara tidak wajar.
“Kan ada satwa-satwa yang selama dipelihara orang, ada yang tidur bareng, di pelihara di kandang kecil, atau malah diikat. Nah, di karantina mereka beradaptasi dengan lingkungan yang baru,” terang Ida.
Selama rehabilitasi, pemeriksaan kesehatan dilakukan tiga kali: saat kedatangan, setelah karantina, dan sebelum pelepasliaran. Setelah dari karantina, primata dipindahkan ke kandang sosialisasi untuk belajar berinteraksi dengan sesamanya.
“Sebelum dilepas, kondisi fisik dan perilaku mereka harus dievaluasi secara teliti,” tambah Ida. Tidak ada waktu pasti dalam proses ini; semua tergantung kesiapan satwa.
Proses panjang rehabilitasi ini menunjukkan pemeliharaan primata secara ilegal, akan memberikan dampak yang sangat buruk dan menyakitkan bagi primata. Ironisnya, primata bukan hanya menjadi korban, tetapi juga kehilangan peran pentingnya dalam ekosistem. Sebagai penyebar biji alami, mereka membantu regenerasi hutan yang menyediakan oksigen, menjaga pasokan air, dan mencegah bencana seperti banjir. Kehilangan mereka di alam liar tidak hanya merusak keseimbangan ekosistem, tetapi juga mengancam kehidupan manusia secara tidak langsung.
Pemeliharaan ilegal tidak hanya merampas kebebasan primata, tetapi juga mengganggu siklus alam yang saling bergantung. Memahami peran besar primata di alam liar seharusnya membuat kita semakin sadar bahwa tempat mereka bukan di kandang, melainkan di hutan, di mana mereka menjadi penjaga kehidupan yang sesungguhnya.
Bagaimana Hukum Indonesia Mengatur Ini?
Di Indonesia, primata merupakan salah satu jenis hewan yang dilindungi keberadaannya karena lebih dari 70% primata Indonesia terancam punah, hal ini disebabkan oleh perburuan dan perdagangan liar.
Menanggulangi hal tersebut, Indonesia sebagai negara hukum memiliki undang-undang yang mengatur larangan pemeliharaan satwa. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 21 tentang larangan menangkap, memelihara, dan memperjualbelikan satwa liar. Namun, tak dapat dipungkiri pelaksanaan hukum ini sering kali lemah.
Banyaknya primata yang masuk ke pusat rehabilitasi diawali oleh perdagangan primata yang luput dari pengawasan hukum. Kasus perdagangan primata seringkali masih sulit diungkap dan pelakunya sering lolos dari jerat hukum.
Menurut data IUCN, sebagian besar primata Indonesia, termasuk monyet ekor panjang, berada dalam status terancam punah. Kondisi ini diperparah oleh tingginya tingkat perburuan dan hilangnya habitat akibat alih fungsi hutan.
Pernyataan Ida menjadi sebuah refleksi bagaimana banyak hal dalam kehidupan ini merupakan suatu hal yang berhubungan. Perdagangan dan pemeliharaan primata yang jika dilihat secara kasat mata berdampak pada fisik dan psikologis primata, ternyata lebih dari itu, berdampak pada hal-hal lain yang lebih besar.
Di balik kelucuan dan daya tarik mereka sebagai peliharaan, tersimpan kenyataan kelam tentang kekejaman perburuan dan kerugian besar yang ditimbulkan pada alam serta manusia. Sehingga, kesadaran kolektif tentang pentingnya melindungi primata, taat terhadap hukum, dan mendukung konservasi adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa mereka tetap hidup bebas di habitat alaminya, tempat mereka sejatinya berada.
Primata sama seperti makhluk hidup lainnya. Berhak untuk hidup bebas dan sama seperti kita yang ingin hidup dengan damai. Mari kita jadikan dunia ini tempat di mana setiap makhluk hidup dapat menjalani kehidupan yang semestinya—di habitat mereka yang alami. Karena pada akhirnya, melindungi mereka berarti melindungi kita semua.
Penulis: Nisrina Salwa D., Shavanna Ambar K.
– Tim SNAP