Gemerlap Media Sosial: Ladang Unjuk Gigi Atau Haus Apresiasi?

Gemerlap Media Sosial: Ladang Unjuk Gigi Atau Haus Apresiasi?

Loading

Gemerlap Media Sosial: Ladang Unjuk Gigi Atau Haus Apresiasi?Ilustrasi Pamer Harta di Media Sosial. Foto: detikOto dan Sotheby’s

Beberapa waktu lalu, jagat maya Indonesia dihebohkan dengan berbagai unggahan yang menampilkan gaya hidup mewah para pejabat publik. Pengungkapan kehidupan mewah pejabat publik merebak semenjak kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo, anak dari salah satu pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo (RAT). 

Kekayaan RAT terkuak setelah warganet mencurigai mewahnya gaya hidup RAT di media sosial. Kecurigaan ini timbul karena jumlah harta RAT dinilai tidak wajar bagi seorang pegawai negeri sipil dan bertentangan dengan data yang tertera pada Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Masalah pamer kekayaan akhirnya merambat ke berbagai pejabat publik lainnya. Pada awal Maret, media sosial diramaikan dengan aksi Kepala Kantor Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Eko Darmanto  yang memamerkan kendaraan mewah pada akun Instagram miliknya. Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2019, Eko yang tergolong sebagai eselon III mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2.920.800 hingga Rp5.211.500 per bulan. Selain gaji pokok, Eko yang menjabat sebagai kepala kantor Bea cukai juga mendapatkan tunjangan kinerja di kisaran Rp3.980.000 sampai Rp4.388.000. Jika diakumulasikan gaji Eko bahkan tidak menyentuh dua digit. Anehnya, menurut catatan LHKPN ia memiliki total harta sebesar 15,7 miliar.

Hal serupa juga ditunjukkan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Riau, SF Hariyanto. Posisi sebagai pejabat publik tidak menghalangi keluarga Hariyanto untuk pamer gaya hidup mewah di media sosial. Diketahui istri dari Hariyanto kerap kali membagikan foto-foto liburan ke luar negeri dan tas bermerek mahal.

Gemerlap Media Sosial: Ladang Unjuk Gigi Atau Haus Apresiasi?Screenshoot Postingan Istri Pejabat Publik (Sumber: Instagram @vhia_esa)

Fenomena pamer harta sebenarnya bukanlah hal baru. Selain pejabat publik, fenomena flexing atau pamer harta di Indonesia juga sempat diramaikan oleh influencer Doni Salmanan dan Indra Kenz. Keduanya dikenal sebagai sosok yang gemar menunjukkan kekayaan mereka di media sosial, khususnya melalui akun Instagram dan Youtube. 

Flexing sendiri dapat diartikan tindakan memamerkan harta kepada khalayak umum. Banyak orang yang melihat tindakan pamer harta ini sebagai hal yang memberikan dampak negatif. Lalu mengapa masih banyak orang, termasuk pejabat publik yang memamerkan hartanya?

Penelitian yang dilakukan Universitas Nasional Singapura menunjukkan bahwa jumlah penghasilan berhubungan dengan emosi yang dirasakan seseorang. Semakin banyak uang yang dihasilkan maka orang tersebut merasa bangga dan lebih percaya diri. Dalam fenomena pamer harta ini, para pejabat menggunakan harta mereka untuk meningkatkan kepercayaan diri. Mereka melihat harta sebagai satu-satunya hal yang menarik dari diri mereka.

Dosen Psikologi Universitas Padjadjaran Ahmad Gimmy Prathama menerangkan jika memamerkan harta berkaitan dengan harga diri seseorang. Orang merasa dengan memamerkan harta, penilaian orang lain terhadap dirinya juga akan turut naik. Gimmy menegaskan jika keinginan untuk meningkatkan harga diri merupakan hal yang wajar, tetapi bisa menjadi masalah kalau tidak disertai dengan empati. 

“Itu sebenarnya bagi semua orang perlu, tapi sekarang permasalahannya hal itu tidak disertai dengan perasaan misalnya, ‘Gimana kalau orang lain punya, gimana kalau orang lain ga ada.’ Jadi perasaan tenggang rasanya terhadap orang lain itu jadi berkurang. Kenapa? karena yang dilihat itu lebih bagaimana pencitraan diri supaya diakui oleh orang-orang sekitarnya,” jelasnya.

Agar tidak terlibat dalam fenomena pamer harta, masyarakat perlu sadar untuk tidak bergantung pada objek, tetapi pada identitas sendiri. Menurut Gimmy, manusia adalah sesuatu yang ada di dalam dirinya. 

“(Yang) perlu kita ubah itu atau perlu kita pikirkan kembali adalah nilai. Kalau kita punya mobil tertentu, apakah (nilai) kita betul-betul akan naik? Apakah itu nilai kita atau sebetulnya kita menggantungkan diri pada hal itu. Jadi sebenarnya (perihal pamer harta) bukan (mengenai harga diri) kitanya, tapi kitanya yang menjadi dependen terhadap simbol-simbol itu, karena kan itu cuman simbol,” pungkasnya.

Pada hakikatnya, setiap orang punya keinginan untuk diakui masyarakat sehingga tendensi untuk memamerkan harta merupakan hal yang manusiawi. Namun, jika harta digunakan sebagai satu-satunya pembuktian diri kepada masyarakat, maka itu menunjukkan bahwa ada masalah dalam self-esteem atau harga diri seseorang. Orang yang haus pengakuan dari orang lain menunjukkan adanya self-esteem yang rendah.

Fenomena pamer harta seperti yang dilakukan para pejabat publik secara tidak langsung menunjukkan cara unik manusia dalam memandang diri mereka. Rumah megah, tas bermerek, dan kendaraan mewah menjadi tameng dari perasaan rendah diri. Alih-alih mendapatkan validasi dan apresiasi terhadap harga diri, pamer harta justru menjadi bumerang bagi diri sendiri bahkan mungkin sanak-famili. Jadi, menurut Sobat Warta sendiri apakah pamer harta adalah sesuatu yang salah atau hal yang normal? 

 

Reporter: Fathiya Oktavianti

Editor: Khansa Nisrina

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *