Pernahkah kalian terjatuh saat sedang bermain bola atau terluka saat hendak memotong sesuatu? Saat kita terluka dan mengalami pendarahan, luka akan berhenti dalam waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 2 hingga 6 menit. Namun, bagi penderita hemofilia, proses berhentinya pendarahan bisa terjadi dalam waktu yang lebih lama yaitu sekitar 10 menit.
Hemofilia adalah penyakit kelainan darah yang terjadi karena kekurangan faktor pembekuan. Bagi penderita hemofilia, darah tidak dapat membeku dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena kurangnya faktor pembekuan dalam darah. Hemofilia merupakan inherited blood disorder atau penyakit darah keturunan.
Meskipun telah menjaga dirinya dari luka, penderita hemofilia berat seringkali mengalami pendarahan tanpa indikasi trauma. Bila pendarahan tersebut terjadi pada sendi atau otot, perlu dilakukan pertolongan pertama seperti mengistirahatkan sendi yang berdarah, kompres area pendarahan menggunakan es, tutup area pendarah dengan perban, dan posisikan area pendarahan lebih tinggi dari dada.
Jika belum berhasil menghentikan pendarahan, pasien harus mendapat suntikan faktor pembekuan darah atau transfusi komponen darah dalam waktu kurang dari 2 jam. Nah, pengobatan untuk menangani pendarahan inilah yang disebut sebagai terapi on-demand atau Pengobatan segera saat terjadinya luka. Sedangkan, untuk mencegah pendarahan atau meminimalisir potensi terjadinya luka, dapat menggunakan terapi profilaksis.
Data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) menyebutkan bahwa terdapat 2.776 penyandang hemofilia di Indonesia yang tercatat hingga akhir tahun 2020. Jumlah ini meningkat sebanyak 24% dibandingkan dua tahun sebelumnya, tahun 2018 yaitu sebanyak 2098 kasus.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Hemofilia (PNPK Hemofilia), menyayangkan kasus hemofilia di Indonesia yang dinilai kurang optimal. Hal ini dikarenakan penangan hemofilia di Indonesia masih menggunakan terapi on demand, dimana pasien baru mendapatkan pengobatan setelah terjadinya luka atau untuk keperluan operasi.
Terapi on demand dan profilaksis sama-sama efektif untuk menangani hemofilia. Namun, ternyata fungsinya jelas berbeda. Terapi on demand jika diilustrasikan seperti digunakan ketika jerawat muncul. Sedangkan terapi profilaksis bisa kita ibaratkan sebagai skincare yang digunakan untuk mencegah munculnya jerawat (atau luka).
Dalam pelaksanaanya, terapi on demand dinilai kurang optimal, karena belum meratanya ketersediaan faktor pembekuan di semua daerah. Hal tersebut juga diperparah dengan jauhnya jarak tempuh jika tinggal di wilayah yang jauh dari rumah sakit untuk hemofilia, karena tidak memungkinkan pasien hemofilia mendapatkan pengobatan dalam waktu kurang dari 2 jam.
Di negara maju, pasien hemofilia secara rutin mendapatkan terapi profilaksis sebagai upaya preventif. Dengan penggunaan terapi profilaksis, pasien hemofilia dapat lebih leluasa dalam beraktivitas, khususnya dalam berolahraga atau melakukan aktivitas fisik. Hal inilah yang kemudian disoroti dalam PNPK Hemofilia agar terapi profilaksis bisa menjadi pengobatan utama dalam menangani hemofilia di Indonesia.
Ibarat skincare yang efektif mencegah masalah kulit, terapi profilaksis dinilai ampuh dalam mencegah pendarahan pada pasien hemofilia. World Federation of Hemophilia (WFH) merekomendasikan terapi profilaksis sebagai pilihan utama bagi penyandang hemofilia A berat, karena dapat mencegah kerusakan sendi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Bukan tanpa alasan hemofilia harus mendapat sorotan yang sama besarnya dengan penyakit lain. Pasalnya, sudah terlalu lama penyakit ini menjadi momok menyeramkan bagi para penderita.
Reporter: Khansa Nisrina Pangastuti
Editor: Fahmy Fauzy Muhammad