Mengenal Mikroagresi, Bentuk Bullying yang Tidak Banyak Disadari

bullying
Sumber foto: canva.com

Lo kalo kurusan dikit pasti cantik deh.” 

“Laki-laki kok nangis sih!”

“Cengeng banget kayak cewek aja!” 

“Tuh kan! cantik itu nggak harus putih.”

Sobat Warta pasti pernah kan mendengar perkataan-perkataan di atas, baik dalam kolom komentar media sosial atau bahkan mengalaminya secara langsung? Memang terdengar sepele, tetapi tidak jarang perkataan tersebut menyinggung beberapa kalangan. Jika merasa tersinggung, umpan balik yang sering dikeluarkan adalah “Baperan banget sih”. Eits, sebelum menyimpulkan seseorang terlalu baper, mungkin memang perkataan tersebut termasuk dari mikroagresi

Meskipun praktiknya sangat umum, tetapi belum banyak yang mengetahui tentang mikroagresi itu sendiri. Terminologi ini digunakan untuk menggambarkan perilaku bullying atau diskriminasi yang bersifat halus, tidak langsung, atau tidak disengaja. Pada umumnya, diskriminasi ini ditujukan kepada golongan-golongan yang termarginal.

Saking halusnya, beberapa bahkan tidak menyadari praktik mikroagresi adalah sesuatu yang serius. Bahkan, tidak jarang perilaku ini dibalut dengan embel-embel pujian untuk memperhalusnya. Nyatanya, mikroagresi sangat umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, lho

Tidak hanya di Indonesia, mikroagresi dapat dengan mudahnya ditemukan di belahan dunia lainnya. Pada awalnya, terminologi ini pertama kali dicetuskan oleh seorang psikiater dari Harvard University, bernama Chester M. Pierce, untuk menggambarkan penghinaan dan diskriminasi yang sering dialami oleh kaum kulit hitam di Amerika. 

Tentunya, Sobat Warta nggak mau ‘kan jadi bagian dari golongan yang melakukan mikroagresi? Maka dari itu, Warta Kema merangkum 3 poin penting yang perlu diperhatikan agar tidak terjebak dalam lingkaran mikroagresi!

1. Re-think Your Words!

Di samping manfaat yang diperoleh dari sosial media, nyatanya produk teknologi ini menjadi salah satu sumber terbesar dari praktik mikroagresi. Alangkah baiknya, sebelum menulis atau mengunggah sesuatu di media sosial, Sobat Warta perhatikan apakah postingan tersebut akan menyakiti orang lain atau tidak.

Dalam konteks dunia nyata, perkataan-perkataan yang sekiranya mengandung unsur-unsur sensitif seperti SARA, rasisme, sexisme, dan hal lain yang berpotensi memarginalkan sekelompok orang sebaiknya dihindarkan. 

Dengan begitu, Sobat Warta sudah mengambil andil untuk peran melawan semua jenis bullying, termasuk mikroagresi. 

2. Stop The Nonsense!

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, seringkali mikroagresi ini tidak disadari karena dibalut oleh pujian-pujian. Misalnya, kata-kata seperti “cantik deh, tapi sayang kulitnya hitam” secara tidak langsung menjadi salah satu bentuk dari mikroagresi. Jika memang berniat untuk memuji seseorang, embel-embel yang sekiranya akan menyinggung orang lain lebih baik dihindarkan. 

Contoh lainnya dapat dilihat dari viralnya #BlackLivesMatter. Sebagai tandingan dari hashtag tersebut, sekelompok orang membuat #AllLivesMatter. Jika dipikir dengan seksama, #AllLivesMatter hanya berupa bentuk invalidasi terhadap perasaan orang-orang berkulit hitam yang sedang terdiskriminasi. 

Seperti halnya cuitan dari akun Twitter @judychen_ yang menekankan bahwa penggunaan 

#AllLivesMatter tidak ada bedanya dengan berkata kepada sekelompok orang yang sedang menggalang dana untuk penyakit Kanker; “ada penyakit lain kok!”. 

3. Be All Ears!

Setelah mencegah diri untuk berbuat mikroagresi, langkah selanjutnya adalah menjadi pendengar yang baik. Jika konteksnya benar terjadi mikroagresi, perlu ditekankan juga kalau perasaan diskriminatif yang dirasakan oleh orang-orang marginal adalah valid.

Dengan mendengar keluhan dari mereka yang merasa termarginalkan dari masyarakat, akan mengurangi rasa diskriminatif yang dirasakan. 

4. Spread The Awareness!

Salah satu permasalahan dari praktik mikroagresi adalah kurangnya pengetahuan umum bahwa perkataan-perkataan “halus” tersebut merupakan bagian dari bullying. Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi Sobat Warta yang mengetahui hal ini untuk menyebarkan informasi ke khalayak umum yang belum mengetahuinya.

Dengan begitu, kesadaran masyarakat akan praktik mikroagresi yang mengancam kesehatan mental seseorang ini akan meningkat. 

Penulis: Zalfaa Arza Fawwaz

Editor: Malika Ade Arintya dan Alya Fathinah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *