Kala pandemi mulai menunjukkan batang hidungnya, berbagai rutinitas kita pun terbatas seketika. Hal serupa juga dapat disaksikan pada kegiatan mahasiswa Unpad. Hari-hari yang biasanya berisi hingar bingar interaksi langsung harus dikesampingkan lantaran “penjara” bernama karantina. Raga kita dihadapi ancaman tak kasat mata bernama Covid-19.
Namun, walau tak terlihat, kondisi mental juga kadang kala dihadapkan pada tumpukan tekanan yang seringkali tak kalah besar dari tekanan fisik. Urgensi akan kondisi mental itu disadari oleh Unpad. Sebagai respons dari hal itu, Pusat Konseling Universitas Padjadjaran (PKUP) hadir mengulurkan tangannya kepada para mahasiswa.
PKUP adalah unit konseling yang diresmikan pada 17 Juli 2020. Unit yang dikelola oleh Fakultas psikologi ini sebenarnya sudah pernah eksis sebelumnya namun baru mendapat perhatian dari pihak rektorat pada September 2019 lalu.
PKUP digerakkan oleh tenaga konseling beranggotakan dosen dan alumni fakultas psikologi Unpad yang didampingi oleh asisten psikolog (mahasiswa S2 profesi psikologi), serta sejumlah dosen relawan. Selain membuka sesi konseling, PKUP juga beberapa kali mengadakan kelas edukasi/webinar terkait kesehatan mental, seperti yang beberapa waktu lalu digelar dengan tema “Bouncing back from Failure”. Ada juga kegiatan Peer Counselling yang melibatkan mahasiswa senior dan mahasiswa baru dalam lingkup fakultas psikologi.
Kondisi pandemi membuat model konseling konvensional tidak memungkinkan untuk digelar. Hal itu membuat PKUP pindah ke platform lain untuk tetap bisa merangkul mahasiswa. Terlepas dari rotasi ke platform lain semacam Google Meet atau Zoom Meeting, PKUP tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dari dulu hingga kini pandemi merebak, masalah yang umumnya dikeluhkan mahasiswa adalah kesulitan belajar, home sickness, dan masalah pertemanan dan sosial.
“Menurut data dari laporan yang kami bikin setiap tahunnya gitu, paling banyak itu biasanya permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kecemasan,” ungkap Larasati Ayu, salah satu psikolog PKUP.
Variasi baru yang mungkin terlihat bisa berupa keletihan akibat aktivitas daring dan interaksi yang terbatas. Hal itu diamini manajer program Psikoedukasi PKUP, Dhini Andriani.
“Awal-awal tidak ada keluhan terkait interaksi daring, tapi lama-lama tidak cukup” tutur Dhini.
Mahasiswa yang pernah singgah untuk berkonsultasi dengan PKUP pun mengaku terbantu, setidaknya itulah yang dirasakan Najwa.
“Selama konseling PKUP itu aku ngerasa terbantu sih, aku ngerasa kek semakin termotivasi kayak mendingan gitu lah gitu,” ungkapnya.
Lewat dua sesi konseling yang ia lalui, ia dibimbing untuk mencari akar dari masalah yang dihadapi serta diberitahu cara untuk mengatasinya, PKUP juga meminta Najwa untuk berkunjung lagi jika dirasa butuh bimbingan.
Meski demikian, sepak terjang PKUP dihadapkan berbagai tantangan. Salah satu yang paling utama adalah kurangnya tenaga ahli. Banyaknya mahasiswa yang mendaftarkan diri tentu menyebabkan demand yang tinggi. Kekurangan ini membuat tim PKUP sulit mengalokasi sesi konseling dengan cepat, bahkan terkadang perlu waktu berminggu-minggu untuk memenuhinya. Hal ini dialami Najwa kala ia mendaftar. Ia perlu menunggu tiga sampai empat minggu untuk bisa berkonsultasi.
Berbagai tantangan dan perubahan yang dibawa pandemi ini tidak disikapi dengan kekhawatiran oleh PKUP. Justru hal ini juga disikapi dengan thrills-nya sendiri, Menurut Dhini, terlepas dari kondisi yang membatasi interaksi, respons dan minat para mahasiswa tetap ada, terbukti dari jumlah peserta yang rata-rata bisa menyentuh 75 orang.
“Mencari tema yang dibutuhkan mahasiswa itu tantangan yang menyenangkan sebenarnya,” ujar Dhini terkait pelaksanaan kelas Psikoedukasi PKUP secara daring.
Berbagai perubahan yang dibawa oleh pandemi ini tidak bisa dipungkiri implikasinya, terutama bagi keseharian kita selaku pelajar. Namun, perlu disadari bahwa hal tersebut ada di luar jangkauan kita, tidak perlu kita bebani jiwa dan pikiran kita akan hal-hal tersebut. Mari berhenti lari dari penatnya jiwa serta pikiran dan mulailah cabut akar masalahnya.
Reporter: Abel Josafat
Editor: Hatta Muarabagja