Pentingnya suara pers melawan merayapnya ancaman otoritarianisme. (Sumber: VOA)

 

Warta Kema – “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali jika dibandingkan dengan yang lainnya.” Kutipan ini merupakan kutipan terkenal yang diucapkan oleh Winston Churchill dari Inggris. Makna dari kutipan ini adalah demokrasi memang merupakan bentuk pemerintahan yang buruk, rakyat diperbolehkan “berisik” pada pemerintah yang dapat mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan seefektifnya. Bagaimanapun, hak “berisik” rakyat tersebut merupakan hal terbaik dalam kehidupan politik jika dibandingkan dengan kekangan otoritarianisme.

Pasal ke-19 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjamin kebebasan semua orang dalam menyatakan pendapatnya tanpa ada pengaruh dari pihak manapun. Dalam dunia jurnalistik, hak berpendapat ini juga berlaku dalam konteks  kebebasan pers dalam melaporkan berita.

Hari Kebebasan Pers Dunia diperingati setiap tanggal 3 Mei tiap tahunnya. Hari tersebut menjadi peringatan sekaligus perayaan untuk pers di seluruh dunia yang memperjuangkan hak mereka dalam melaporkan berita tanpa kekangan. Hal ini juga menjadi pengingat untuk  pemerintah bahwa kebebasan pers merupakan sesuatu yang harus dihormati. 

Namun, semakin tahun berlalu, Indeks Kebebasan Pers Dunia melaporkan semakin menyusutnya kebebasan pers di dunia. Sayangnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang nilai kebebasannya semakin menyusut.

Dua pemilu terakhir serta pandemi Covid-19 merupakan masa dimana kebebasan pers di Indonesia sangat diuji. Baik dalam media fisik maupun digital, jurnalis yang ingin melaporkan berita seringkali mendapat tekanan dari pihak yang bersinggungan. Intimidasi, baik di dunia nyata maupun dunia maya, kerap kali dirasakan oleh para jurnalis.

Untuk membahas topik ini lebih lanjut, Warta Kema berbincang dengan Dosen Prodi Jurnalistik Universitas Padjadjaran dan Komisioner KPID Jawa Barat, Achmad Abdul Basith, terkait kebebasan pers secara keseluruhan serta dampaknya bagi mahasiswa. Ia menyatakan bahwa ia sepakat dengan perlindungan kebebasan berpendapat dan gagasan yang dikemukakan oleh pers, “Hak untuk mengetahui dan hak untuk memberitahukan itu kan hak asasi manusia yang dilindungi oleh keputusan PBB itu,” ujar Basith.

Basith lalu menjelaskan bahwa kebebasan dalam hal ini perlu diikuti oleh tanggung jawab. “Tidak sepenuhnya bebas semau sendiri begitu, tapi bebasnya bebas bertanggung jawab artinya tidak merugikan orang lain. Anda bebas, tapi harus punya dasar atas argumen yang anda sampaikan, anda bebas memberikan tuduhan atau dugaan kepada orang lain tetapi juga punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.”

Dalam perjalanan jurnalisnya, Basith mengaku pernah berjumpa dengan halangan-halangan yang mengancam kebebasan persnya. “Pernah selama tugas kalau intimidasi dalam bentuk ancaman terus teror atau bahkan upaya untuk pembungkaman dengan mendatangi studio dengan ancaman pernah selama saya di (kantor berita) itu.” 

Ia menjelaskan bahwa seringkali alamat kantornya dikirimi barang-barang yang ia anggap tidak wajar tanpa adanya nama pengirim. Ia menduga bahwa hal ini terkait dengan pemberitaannya. “Dulu radio tempat saya bekerja itu memang setiap hari kami bahas isu-isu politik dan isu-isu sosial yang sedikit banyak bersinggung dengan kebijakan dan pemerintahan sehingga sangat wajar jika ada yang merasa tersinggung atau merasa terusik.”

Dosen Prodi Jurnalistik Universitas Padjadjaran serta praktisi hukum, M. Zen Al-Faqih, menjelaskan terkait hukum yang melindungi kebebasan pers di Indonesia. Ia mengatakan bahwa segala bentuk pembungkaman pers merupakan ancaman besar terhadap demokrasi dan kebebasan di Indonesia. Ketika muncul sengketa pers, dewan pers punya wewenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut tanpa masuk ranah hukum pidana.

Terkait hukum jurnalisme, ia menerangkan bahwa kode etik jurnalisme yang berada di Indonesia saat ini merupakan sesuatu yang sudah cukup bagus dalam menentukan parameter hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para jurnalis. “Ngga boleh jurnalis itu meliput berita yang tidak berimbang. Jurnalis juga ngga boleh memuat kabar bohong. Kemudian menghormati narasumber. Saya pikir bagus,” ujarnya saat mendeskripsikan kode etik jurnalisme.

Perihal free speech dan kebebasan berpendapat, Zen mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari HAM yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dan harus dirawat dan dijaga. “Kalau kita buka Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen, hak atas informasi kan bagian dari hak asasi manusia. Dan pers punya tanggung jawab untuk memberitakan sesuatu, memberikan informasi dalam kerangka memberi informasi kepada warga negara,” jelasnya.

Meskipun begitu, ia berterus terang bahwa hukum ini juga memiliki beberapa kekurangan yang sangat disayangkan. Salah satunya adalah bahwa Hukum Pers Indonesia tidak mengakui keberadaan pers mahasiswa (persma) sehingga mereka tidak mendapat perlindungan yang dinikmati oleh pers nasional. 

“Kalau kita buka Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Pasal 1, yang disebut pers nasional itu pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers. Pers mahasiswa itu belum termasuk dalam definisi pers nasional. Jadi, kelemahan Undang-Undang Pers itu menurut saya belum memberikan perlindungan terhadap pers mahasiswa,” terang Zen kepada Warta Kema pada Rabu (14/05).

Pers mahasiswa, jelasnya, bukan merupakan suatu perusahaan media nasional yang terdaftar sehingga jika ada berita yang dipermasalahkan, sengketa pemberitaan ini sulit untuk diselesaikan oleh dewan pers.

Basith turut mengkonfirmasi tanggapan ini. “Pendekatan yang dilakukan pada pers mahasiswa seringkali pakai pendekatan undang-undang yang lain termasuk ITE. Itu sebenarnya mengancam kemerdekaan pers. Makanya, ditangkap polisi lah atau kena sanksi dari pihak yang lain.” Ia lalu menambahkan bahwa setiap usaha untuk mengamandemen Undang-Undang Pers selalu diurungkan oleh anggota dewan pers. 

Hal ini disebabkan karena setiap kali ada usaha amandemen undang-undang, selalu ada pasal-pasal “penunggang” yang malah merugikan semua pihak. Oleh karena itu, wacana amandemen UU Pers yang kemungkinan besar dapat membantu eksistensi persma di masa depan selalu diurungkan karena adanya resiko besar yang mengancam kebebasan pers. One step forward, two steps back.

Untuk saat ini, perlindungan persma dalam kerangka UU Pers adalah adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara dewan pers dengan kementerian pendidikan yang menyatakan bahwa ketika adanya sengketa, akan diselesaikan oleh dewan pers. “Menurut saya, ini adalah upaya untuk mengisi kekosongan hukum sepertinya, karena Undang-Undang Pers belum mengakomodir keberadaan pers mahasiswa. Bagi saya ini menjadi angin segar dalam kerangka melindungi kebebasan pers mahasiswa dengan adanya MoU itu,” ujar Zen.

Di lingkungan kampus, Basith memberi pendapatnya tentang kebebasan persma dalam melakukan kegiatan jurnalisme. “Saya disini lebih sepakat dengan kemerdekaan pers karena independen itu dia punya kemerdekaan untuk melakukan apapun tanpa intervensi siapapun” tambahnya. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa persma merupakan organisasi mandiri yang berhak berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun, bahkan pihak kampus sekalipun. 

“Jurnalisme itu kan dimulai dari curiosity, rasa ingin tahu, kemudian juga skeptis, tidak mudah percaya. Atas dasar itu, boleh aja temen-temen punya dugaan terhadap penyelenggara kampus. Tapi harus dibuktikan dengan cara liputan mencari bukti-bukti yang memperkuat dugaan itu.”

Dalam gambaran yang lebih besar, Basith menekankan wajibnya pers nasional mengkritik jalannya pemerintahan negara. “Konsekuensi dari sistem demokrasi itu berisik. Jadi karena kita sudah memilih untuk meyakini demokrasi maka sudah resiko kalau berisik gini. Harusnya pemerintah udah ngga kaget, itu bagian dari sistem yang dipilih gitu. Siapapun boleh berbicara, kebebasan untuk berpendapat itu ada, ngga boleh dibatasi. Begitulah demokrasi. Selama kita masih demokrasi silahkan saja, selama disampaikan dengan saluran-saluran yang bertanggung jawab,” jelasnya.

Basith dan Zen tiba di sebuah konklusi yang sama. Bahwa pers Indonesia, khususnya pers mahasiswa seluruh Indonesia, harus bersatu dalam sebuah kolektif layaknya perserikatan sehingga kebebasan pers dapat dilindungi dan dijaga bersama.

 

 

Reporter: Maheswara Adla Wibowo

Editor: Ammara Azwadiena Alfiantie, Syafina Ristia Putri, Andrea Hillary Gusandi

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *