
Warta Kema – Pada hari Jumat (03/10), terlaksana salah satu program kerja Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (Kema) Universitas Padjadjaran (Unpad), yaitu BIG FORCE! Festival (BFF) 2025 yang merupakan program kerja perlombaan olahraga dan non-olahraga. Dengan tujuan menjaga ruang temu dan silaturahmi Kema Unpad, BFF 2025 hadir sebagai wadah bagi mahasiswa untuk saling bertanding dan mengharumkan nama masing-masing fakultas melalui berbagai macam perlombaan yang tersedia.
Namun, BFF 2025 menghadirkan kolaborasi bersama Dies Natalis ke-68 Unpad sebagai inovasi terbarunya di tahun ini. Acara yang biasanya menjadi acara tahunan bagi mahasiswa, kini digabungkan dengan acara universitas. Lantas, bagaimana tanggapan dari pihak universitas dan mahasiswa? Apakah kolaborasi ini menjadi pilihan yang bijak?
Andre Rivianda Daud, Ketua Dies Natalis ke-68 Unpad, menjelaskan bahwa Dies Natalis dan BFF digabungkan karena terlihat individualis. Ia menambahkan bahwa Rektor Unpad melihat kedua acara yang berbeda ini dan meminta kepada panitia Dies Natalis untuk menggabungkan kedua acara tersebut.
“Memang dulu Dies Natalis jalan sendiri, BFF jalan sendiri gitu, ya. Kemudian, Pak Rektor mungkin melihat kok kayak yang sendiri-sendiri gitu, ya. Jadi, memang meminta kepada Panitia Dies Natalis tahun ini, lebih baik waktu pelaksanaannya itu bersamaan dengan teman-teman BFF,” jelasnya.
Andre juga berharap bahwa tahun ini dapat menjadi percontohan untuk tahun-tahun berikutnya. Walaupun terdapat beberapa dosen dan mahasiswa yang belum terlihat kompak, ia yakin bahwa hal tersebut dikarenakan perubahan yang tiba-tiba. Akan tetapi, ia tetap merasa senang karena dosen dan mahasiswa tetap berkumpul dikala persiapan yang sangat singkat.
“Harapan saya justru pada tahun pertama ini bisa menjadi role model untuk tahun-tahun berikutnya. Ternyata dosen dan mahasiswa ada yang bisa kompak, ada yang belum kompak. Nah, ini kan masih proses pengenalan (sehingga) kaget. Nah, tahun depan itu kami akan coba persiapan yang lebih panjang. Kalau sekarang‘kan karena mepet (jadi) ya sudah lah. Tapi dengan berkumpulnya seperti ini juga saya sudah senang,” ucapnya.
Dengan pendapat yang sama, Inu Isnaeni Sidiq, Direktur Kemahasiswaan Unpad, menjelaskan bahwa inisiatif awal untuk menyatukan Dies Natalis dengan BFF adalah karena pemikiran bahwa seharusnya Dies Natalis menjadi kegiatan yang diikuti oleh semua civitas. Pada prakteknya, Dies Natalis biasanya mendapatkan partisipasi mahasiswa yang sangat rendah. Oleh karena itu, melihat BFF yang sangat meriah, muncullah inisiasi dari kolaborasi Dies Natalis dan BFF 2025.
“Jadi, memang sebetulnya inisiatif untuk kita menyatukan antara Dies Natalis dengan BFF ini karena kita punya pemikiran bahwa kegiatan Dies Natalis itu‘kan seharusnya menjadi kegiatan yang juga diikuti oleh semua civitas. Tidak hanya dosen dan tenaga kependidikan (tendik), tapi juga mahasiswa. Tetapi pada prakteknya, setiap kali pelaksanaan Dies Natalis, partisipasi mahasiswa sangat rendah. Mahasiswa‘kan punya event sendiri yaitu BFF yang sangat meriah, sehingga akhirnya kami coba mengolaborasikan,” jelasnya.
Inu menambahkan bahwa kolaborasi yang dilakukan tidak akan menghilangkan esensi dari BFF. Ia menegaskan bahwa pada pelaksanaannya, Dies Natalis akan menyesuaikan dengan BFF seperti pada acara pembukaan, yaitu Padaya. Acara itu diawali dengan pembukaan dengan Dies Natalis, kemudian diambil alih kembali oleh BFF.
“Tetapi tidak kemudian menghilangkan esensi daripada BFF itu sendiri. Sehingga pada saat pelaksanaannya, kita menyesuaikan dengan BFF-nya. Contohnya pergabungan dengan Padaya, kita pembukaan Dies Natalis di awal, sisanya adalah untuk Padaya,” tegasnya.
Inu juga menjelaskan bahwa tetap terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi, tetapi ia menegaskan bahwa penggabungan dua acara ini merupakan hal yang positif. Ia juga menambahkan bahwa seharusnya satu hari perkuliahan diliburkan di seluruh fakultas untuk merayakan kedua acara ini. Ia yakin bahwa kolaborasi seperti ini harus dibangun dalam semua acara Unpad, sehingga tidak ada dikotomi antara dosen, tendik, dan mahasiswa.
“Walaupun tidak bisa dipungkiri, sebetulnya ‘kan masih perlu banyak evaluasi juga. Saya lebih setuju kalau memang mau digabung, harusnya hari ini diliburkan semua perkuliahan. Kalau kita hilang satu hari perkuliahan ‘kan nggak masalah, karena ini menjadi semangat kolaborasi seluruh civitas, ya. Jadi, tidak ada lagi dikotomi antara dosen pendidik dan mahasiswa. Dan ini sebetulnya harus kita bangun dalam semua event-event. Karena event yang dilaksanakan oleh Unpad pada kekatnya ‘kan itu adalah untuk semua civitas, apapun itu,” jelasnya.
Berbeda dengan pihak Universitas, sebagian mahasiswa menilai penggabungan ini mengurangi euforia khas BFF. Daffa, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM), menilai kolaborasi ini menimbulkan pertentangan konsep antara yang ingin disampaikan dosen dan mahasiswa.
“Intervensi dosen atas acara Dies Natalis mengurangi euforia dari mahasiswa untuk merayakan ‘lebarannya’ anak-anak supporter setahun sekali. Konsep yang diberikan dosen nggak sejalan dengan identitas yang ingin disampaikan (mahasiswa) FIKOM,” ujar Daffa.
Daffa juga menilai BFF dan Dies Natalis sebaiknya kembali dipisahkan pada tahun-tahun berikutnya. Ia menilai kedua acara memiliki esensi dan tujuan yang berbeda.
“Jelas tidak digabung karena Dies Natalis dan BFF merupakan hajat yang berbeda menurut saya. Dies Natalis merupakan hajatnya dari tendik, dosen, dan seluruh pegawai dan BFF merupakan hajat dari mahasiswa Universitas Padjadjaran,” tegasnya.
Sementara itu, Dhaza, mahasiswa Fakultas Teknik Geologi (FTG), melihat kolaborasi ini sebagai ide baik, meski menurutnya pelaksanaan acaranya masih kurang matang. Ia menilai beberapa hal masih dilakukan secara terburu-buru dan belum terorganisasi dengan baik.
“BFF tahun ini tuh persiapannya kurang matang. Aku merasa pelaksanaannya terkesan terburu-buru dengan regulasi dan ketentuan yang belum sepenuhnya jelas, bisa dibilang lumayan flop daripada tahun sebelumnya. Tapi, dari FTG sendiri, kami antusias karena jarang banget ada kegiatan yang mempertemukan mahasiswa dan dosen dalam satu acara,” jelasnya.
Dhaza berharap kolaborasi BFF dan Dies Natalis dapat tetap dilanjutkan untuk tahun depan. Namun, ia menekankan pentingnya perencanaan yang lebih matang dan koordinasi yang lebih jelas agar acara berjalan maksimal.
“Untuk BFF tahun depan itu sebenarnya aku lebih suka bersama-sama dengan dosen, ya. Tapi, untuk persiapannya itu harus lebih matang, karena mengingat dari tahun lalu tuh sebenarnya bagus, cuman tahun ini tuh mungkin sekarang ada trouble gara-gara ya digabung sama Dies Natalis ‘kan. Mungkin kaget lah dari panitianya,” jelasnya.
Sebagai perubahan pertama dari tradisi biasanya, tentu menilik pro dan kontra dari segi dosen maupun mahasiswa. Inu yakin bahwa ini masih langkah awal dari perubahan, sehingga menimbulkan pro maupun kontra. Lantas, kembali ke pertanyaan awal, apakah dengan kolaborasi ini segi pengelolaan acara menjadi lebih baik atau tidak? Inu yakin jika kolaborasi acara ini berjalan dan memberikan layanan yang lebih baik untuk mahasiswa, maka perlu diteruskan untuk BFF ke depannya.
“Ini ‘kan sebetulnya langkah awal. ‘Kan baru pertama kali ini dilakukan. Pasti ada yang setuju, ada yang tidak. Tinggal nanti kita lihat saja, apakah kegiatan BFF yang digabungkan dengan Dies (Natalis) ini berjalan dengan lebih baik atau tidak? Dari segi pengelolaan, kalau berjalan dengan lebih baik, kemudian memberikan layanan yang lebih baik untuk semua mahasiswa yang menjadi peserta, ya kenapa tidak diteruskan? Kalau pun misalnya ada yang masih perlu diperbaiki, kita perbaiki sama-sama,” tutup Inu.
Penulis: Fernaldhy Rossi Armanda, Salwa Nabila Ayu
Editor: Ammara Azwadiena Alfiantie, Alifia Pilar Alya Hasani
Foto: Fernaldhy Rossi Armanda, Sabila Luthfia Hana
