Curhatan Mgdalenaf ‘Banjir’ Hujatan, Apakah Food Vlogger Telah Hilang Haluan?

Loading

Potret Mgdalenaf, salah satu food vlogger hits di Tanah Air (Sumber: Instagram/mgdalenaf)

Jatinangor, Wartakema – Siapa yang tak kenal sosok berikut ini? Yap, Mgdalenaf, seorang food vlogger Tanah Air yang sudah lama menghiasi jagat maya dengan konten-konten uniknya menelisik dan mengulas aneka ragam kuliner di berbagai penjuru Nusantara. Lewat jargon “Bar-bar kuy!” setiap makanan atau minuman yang ‘disaring’ dari mulutnya, selalu membuat banyak orang menjadi tergugah untuk mencicipinya. Akan tetapi, sosoknya kini tengah ramai menjadi bahan pergunjingan hingga merembet pada eksistensi food vlogger itu sendiri.

Potret Mgdalenaf saat menjadi bintang tamu dalam konten Youtube milik Samuel Christ (Sumber: sumsel.tribunnews.com)

Semua ‘kekisruhan’ ini bermula saat Mgdalenaf diundang dalam sebuah konten podcast milik salah satu Youtuber Tanah Air, Samuel Christ. Ketika itu, food vlogger yang memiliki nama asli Magdalena Fridawati ini mengaku kerap dipandang sebelah mata hingga tidak dilayani dengan baik oleh sejumlah pelaku bisnis kuliner, sekalipun sudah memberi ‘jaminan’ berupa jumlah followers di Instagram.

“Saya bilang, ‘Pak, ini nilainya tidak ternilai loh’, dalam hati. Kalau misalnya lo disuruh bayar gue, bisa bayar berapa? Itu sering banget,” ujar Mgdalenaf seperti yang dikutip dari detik.com.

“Aku tuh masih sering dipandang sebelah mata banget. Apalagi teman-teman aku yang lebih kecil lagi. Atau pas lagi review restoran itu dibiarin aja nggak dijamu. Aku pikir kok nggak ada kelasnya banget ya food vlogger,” lanjutnya.

Alhasil, pernyataan itu sontak memancing amarah warganet dengan melontarkan keresahannya pada sang food vlogger itu hingga trending topic di media sosial. Sebagian besar menganggap bahwa Mgdalenaf terlalu ‘jual mahal,’ serta berbanding jauh dengan berbagai kritikus makanan lainnya yang jauh lebih apa adanya. Kemudian, agar tidak semakin ‘dirujak’ oleh warganet, pada 5 April 2023 lalu, Mgdalenaf langsung meminta maaf dan mengklarifikasi segala pernyataannya yang dinilai kontroversial itu.

Lewat akun Instagram pribadinya, meski diawali dengan pernyataan maaf, Magda, begitulah Ia akrab disapa mengklaim telah membantu dengan tulus ribuan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanah Air, tanpa mematok biaya sedikitpun. Bukan hanya itu saja, perihal jumlah followers yang sempat Ia utarakan ketika berkunjung ke sebuah restoran, Magda menilai bahwa hal tersebut merupakan salah satu cara agar pelaku usaha kuliner itu dapat merasakan manfaat yang dilakukan olehnya.

“Tim akan memperlihatkan portofolio media Mgdalenaf, salah satu instrumennya adalah jumlah followers, supaya pelaku usaha tersebut mengerti bagaimana manfaat digitalisasi dari media Mgdalenaf,” ujarnya.

Terlepas dari pernyataan Mgdalenaf yang membuat warganet naik darah, profesi food vlogger yang merupakan cabang dari blog makanan (food blogging) ini nyatanya kian digandrungi oleh banyak anak muda. Menurut Ganda Suthivarakom, dalam artikel “A Brief History of Food Blogs”, aktivitas semacam food vlogger ini telah diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Jim Leff yang diunggah dalam situs chowhound.com berjudul “What Jim Had for Dinner” Jim memperkenalkan nuansa jurnalisme makanan dengan membuat katalog makanan yang Ia santap setiap harinya. Tak lupa, Ia menyertakan gambar yang diambilnya sendiri.

Lambat-laun, perkembangan food blogging nyatanya juga merambah ke dunia audio-visual, sekalipun belum dikenal istilah food vlogging. Sekitar pertengahan tahun 2000-an, Sobat Warta pasti terbayang sosok Bondan Winarno dengan jargon andalannya, “Maknyuss…”, atau Benu Buloe yang berkeliling penjuru Nusantara untuk mencari makanan unik, sembari menggunakan kostum nyentrik.

Potret Benu Buloe, salah satu pembawa acara kuliner Tanah Air yang eksis sejak pertengahan 2000-an (Sumber: Youtube / Cerita Rasa)

Sedangkan di kancah internasional, Youtuber Mark Wiens, sudah jauh lama dikenal cakap ketika mengulas berbagai makanan dari setiap negara yang Ia datangi, serta selalu mengutamakan sikap rendah hati dan sopan saat berjumpa dengan orang yang ditemuinya.

Potret Mark Wiens, salah satu Youtuber dan kritikus kuliner ternama di dunia (Sumber: Youtube/Mark Wiens)

Tak hanya itu, dikenal pula istilah Bintang Michelin atau Michelin Star yang merupakan salah satu predikat atau penghargaan prestisius bagi restoran-restoran di seluruh dunia yang memiliki makanan luar biasa. Tentu untuk mendapatkannya, ada beberapa hal yang patut diperhatikan seperti kualitas bahan, perpaduan rasa, teknik memasak, kepribadian koki yang tergambarkan dalam masakannya hingga konsistensi setiap makanan dari waktu ke waktu. Selain itu, penilaiannya pun juga menggunakan inspektur makanan rahasia dengan berbagai kriteria yang begitu matang di dunia kuliner, serta harus bersikap objektif ketika memberi ulasan.

Alhasil, hal tersebut mulai ditiru oleh sejumlah influencer Tanah Air lewat caranya masing-masing, dengan memanfaatkan pesatnya perkembangan media sosial. Sebut saja beberapa pionir food vlogger di Indonesia selain Mgdalenaf yang berhasil membuktikannya, terdapat nama-nama yang tidak kalah besarnya seperti Nex Carlos, Ria SW, Ken & Grat, dan masih banyak lagi.

 

Ibarat kata ‘tidak ada yang mustahil,’ tanpa harus punya pengetahuan mumpuni, media sosial menjadi alat untuk semakin menggugah rasa penasaran lewat konten-konten yang dibuatnya. Bahkan, Tatik Suryani dalam bukunya Perilaku Konsumen di Era Internet: Implikasinya pada Strategi Pemasaran mengatakan perilaku konsumen dapat berubah seiring dengan berkembangnya teknologi sehingga berpengaruh pada pengambilan keputusan. Apalagi mereka kerap memiliki ciri khas saat mengulas suatu makanan, atau menambahkan ‘bumbu-bumbu’ alias gimik, seperti “enak banget” atau “rasanya kayak mau meninggal”.

 

Lantas, apakah ‘khasiat’ dari food vlogger masih mujarab?

 

Menjawab pertanyaan itu, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Warta Kema 2023 telah melakukan survei pada tanggal 10-15 Mei 2023 terhadap 13 responden yang merupakan mahasiswa dari berbagai fakultas di Universitas Padjadjaran. Hasilnya pun cukup mengejutkan, sebab mayoritas responden tidak serta-merta tergoda dengan konten  yang ditawarkan oleh para food vlogger. Lebih rinci, sebanyak 61,5 persen responden cenderung untuk menjadikan konten-konten dari para food vlogger sebagai wishlist, sementara sisanya hanya dijadikan sebagai tontonan pelepas penat saja.

 

Berikutnya, saat disinggung perihal aksi food vlogger yang begitu marak di media sosial belakangan terlebih semenjak viral-nya pernyataan Mgdalenaf, sebanyak 46,2 persen responden menilai hal tersebut sebagai tindakan yang berlebihan, baik dari penyampaian yang kurang pas, tidak sesuai, frontal, dan lain sebagainya. Terdapat pula responden yang menilai food vlogger cenderung memberi ulasan dengan disertai gimik, sehingga makin jauh dari kenyataan dan terkesan kurang objektif. 

Potret Dzaky Muhammad, mahasiswa Perikanan Universitas Padjadjaran sekaligus pemilik usaha bisnis F&B, Burgerchill (Sumber: Instagram / dzakymar)

Pandangan serupa diungkapkan oleh Dzaky Muhammad, mahasiswa Perikanan Unpad angkatan 2020 yang menilai pernyataan Mgdalenaf tentu sangat berpengaruh bagi para pelaku bisnis, terutama di dunia kuliner saat ingin menggunakan jasa food vlogger. Walau demikian, mahasiswa yang juga tengah menggeluti usaha di bidang food and beverage (F&B) ini menambahkan bahwa seorang food vlogger semestinya mampu untuk mengenal karakteristik setiap bisnis kuliner dan tidak serta-merta langsung menawarkan diri, hanya demi menambah exposure semata.

 

Kalo aku liat dari berita, orang-orang (pengusaha kuliner) yang ditawari (oleh food vlogger, pasti selalu bilang begini) ‘Eh, saya punya ini ini ini..’, kan bisa aja dia (pemilik usaha) jualan gerobakan yang nggak tahu soal media sosial. Menurut aku itu kurang baik,” ujar Dzaky, Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Unpad saat ditemui oleh Tim Warta Kema, Kamis (4/5).

 

“Cara restoran promosi beda-beda dan cara penyampaian (food vlogger) harusnya nggak sefrontal itu,” tambahnya.

 

Meski telah ramai diulas oleh sejumlah influencer maupun media massa, dalam dua tahun terakhir usaha yang dirintis bersama saudara kembarnya, Naufal Muhammad ini cenderung memilih bekerja sama dengan food vlogger. Tak hanya itu, ketika pertama merintis usaha tiga tahun silam, Dzaky merasa sangat terbantu dengan media sosial, terutama Instagram dan TikTok untuk memperluas jangkauan konsumen. 

 

“Aku awalnya jualan burger (Burgerchill) di rumah, dan rumah aku tuh masuk gang jadi cuma masuk satu motor. Logikanya, siapa sih yang beli kalo bukan tetangga. Karena outlet-nya nggak keliatan, (dan saat itu) lagi Korona siapa (juga) yang mau lewat. Tapi (saat) pake media sosial, bahkan (konsumen) dari luar kota pun bisa tau produk kita,” ujarnya.

 

“Mungkin kalo (saat itu kita) nggak pake media sosial, paling (sampai sekarang) outlet (Burgerchill) hanya ada di rumah aja,” tambah Dzaky.

 

Bisa disimpulkan, pernyataan Mgdalenaf yang begitu gamblang diutarakan justru semakin menambah stigma negatif terhadap profesi food vlogger itu sendiri. Ibarat kata menjilat ludah sendiri, banyak warganet beranggapan jika Magda telah membongkar kartu as food vlogger, yakni meminta makan gratis berkedok jumlah pengikut (follower) di media sosial. Seperti Alen, mahasiswa Antropologi Unpad angkatan 2020 yang merasa jika tiada guna bagi Magda untuk mengklarifikasi statement-nya tersebut. 

 

“Awalnya seperti kaget karena cukup banyak review makanan ala Mgdalenaf yang saya tonton, tapi setelah melihat klarifikasi bisa jadi memang sesuai dari apa yang disampaikan dengan beberapa komentar netizen yang justru fokus menggali keburukannya,” ujar Alen.

 

Berbeda dengan Tiara, salah satu mahasiswa Keperawatan Unpad angkatan 2022 yang tidak sependapat jika Mgdalenaf betul-betul ‘mengemis’ makanan dengan dalih ingin diistimewakan. Hanya saja, dirinya juga mengkritisi cara komunikasi Magda kepada target yang akhirnya justru menjadi salah kaprah.

 

“Tapi masalahnya, pedagangnya aja belom tentu tau dia (Magda) siapa dan seberapa pengaruhnya buat usaha si pedagang. Mungkin, kalo mau diistimewakan ya sebelum bikin konten harus ada persetujuan dulu. Jangan asal dateng terus minta ini itu,” ujarnya.

 

Terlepas dari serangan membabi buta dari warganet kepada Mgdalenaf, memang tak ada satupun pakem berupa aturan tertulis yang mengatur tindak-tanduk seorang food vlogger dalam berkarya. Akan tetapi, seyogyanya para food vlogger mampu untuk memberi gambaran terhadap suatu produk kuliner bagi khalayak yang hanya dapat menyaksikan dari layar visual saja.

 

“Bisa dengan genuine me-review sebuah makanan dengan lebih fokus pada rasa dan aspek lainnya dalam makanan, dibanding (berkutat pada) konten apa yang dihasilkan agar dapat views sebanyak-banyaknya,” ujar Alen.

 

Food vlogger itu orang yang mengerti menyampaikan sebuah produk tanpa harus orang itu merasakan melalui lidah. Jadi, fungsi mereka gimana caranya orang tuh nggak ngerasain, nggak dateng, tapi mereka bisa memahami, Oh ini tuh enak nih, oh ini tempatnya cozy,” ujar Dzaky.

 

Lebih lanjut, Dzaky pun mengakui jika hadirnya food vlogger berpengaruh signifikan terhadap penghasilan setiap usaha, khususnya yang bergerak di bidang kuliner. Hanya saja, dirinya berharap agar hal tersebut bisa selaras etika yang ditunjukkan oleh food vlogger, sekalipun mereka punya karakteristiknya tersendiri.

“Jangan terlalu egois dan idealis juga diantara keduanya (pengusaha dan food vlogger), karena kita nggak tau ada maksud positif dari A dan B yang sama-sama menguntungkan,” pungkasnya.

 

Penulis : David Kristian

Editor : Khansa Nisrina Pangastuti

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *