Munculnya Kema Unpad sebagai Wadah Aspirasi Mahasiswa
Kehadiran Pemerintahan Mahasiswa di Unpad mulanya didorong berbagai forum konsolidasi dan musyawarah tingkat fakultas yang menginginkan wadah tanpa batasan ragam corak pergerakan dan aspirasi mahasiswa. Pembentukan Kema Unpad menggambarkan tekad dalam menegaskan eksistensi dan kekuatan intelektual serta kolektif mahasiswa. Bermula pada 1996, Senat Mahasiswa berbagai fakultas bersatu dalam Musyawarah Besar Senat Mahasiswa Tingkat Perguruan Tinggi I dan II. Kemudian pada 1997, ketika gelombang reformasi merebak, mahasiswa Unpad mengecam Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) dengan pemboikotan. Tindakan ini melambangkan protes untuk merumuskan AD/ART organisasi mahasiswa, serta untuk meraih pengakuan dibawah bingkai universitas.
Pada rentang 1998–2002, berbagai upaya ditempuh untuk membentuk forum-forum antarfakultas di Unpad guna menganyam dialog antara mahasiswa dan universitas dengan tujuan pembentukan organisasi kemahasiswaan tingkat universitas. Upaya memuncak dalam Deklarasi Kema Unpad di Graha Sanusi Hardjadinata pada 14 Maret 2002. Momentum ini diikuti keluarnya Surat Keputusan Rektor Unpad No. 116.b/J06.3/Kep/KM/2002 yang secara resmi mengakui pembentukan organisasi kemahasiswaan di Unpad.
Sejak berdirinya, Kema Unpad telah mengembangkan bentuk pemerintahan yang cenderung deliberatif. Langkah ini tercermin dalam pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) tingkat universitas, diinisiasi melalui forum gabungan antara organisasi tingkat fakultas dan himpunan mahasiswa. Pendekatan ini menggambarkan corak politik Kema Unpad yang senantiasa diwujudkan melalui forum dan musyawarah sebagai mekanisme pengendalian internal. Tujuannya adalah menciptakan tempat berkumpul untuk mahasiswa dengan latar belakang dan pandangan yang beragam.
Neoliberalisme di Kampus: Dampak Terhadap Pemerintahan Mahasiswa
Saat ini pemerintahan mahasiswa dihadapkan pada tantangan utama dalam bentuk neoliberalisasi. Agenda neoliberalisme diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2014 yang memberikan otonomi lebih luas kepada universitas–utamanya Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH)–baik dalam ranah akademik maupun non-akademik, dengan fokus pada pencapaian prestasi akademik dan penyesuaian terhadap tuntutan pasar. Peraturan tersebut diimplementasikan dalam PP No. 80 Tahun 2014 yang menyatakan Unpad sebagai PTN-BH. Dampak neoliberalisme dalam dunia kampus menjadi semakin terasa ketika pandemi Covid-19 melanda dan menghambat kegiatan sehari-hari.
Dalam konteks ini, peran universitas semakin menonjol, terutama dalam intervensi terhadap pemerintahan mahasiswa. Program-program yang diterapkan dengan konsep Kampus Merdeka, seperti MSIB, Kampus Mengajar,IISMA, dan PMM yang dipelopori Kemendikbud serta skema-skema universitas sendiri dianggap sebagai ‘pelipur lara’ dalam situasi daring. Konsekuensinya adalah muncul hal baru yang dianggap lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan mahasiswa hanya sebagai individu dan hasilnya pemerintahan mahasiswa yang seolah-olah kalah pamor dibanding tawaran-tawaran Kampus Merdeka.
Efek lanjutnya adalah muncul pola depolitisasi yang menggerus ruang bagi kritik dan gerakan mahasiswa. Pemadatan kurikulum dan kegiatan magang menjadi salah satu sebab munculnya pola depolitisasi yang mengakar. Pada permukaannya, upaya pemerintah merampingkan kurikulum dan meningkatkan peluang magang tampak seperti langkah memajukan pendidikan dan mempersiapkan mahasiswa untuk dunia kerja. Namun saat kita lihat lebih dalam, disadari bahwa perubahan ini memiliki dampak yang lebih dalam dan gelap.
Pemadatan kurikulum, dengan harapan meningkatkan efisiensi, seringkali mengorbankan mata pelajaran yang membangkitkan pemikiran kritis dan kreatif. Keterbatasan waktu mengarah pada pengurangan waktu yang bisa digunakan untuk membaca, berdiskusi, atau bahkan terlibat dalam aktivitas politik. Mahasiswa yang semestinya menjadi agen perubahan sosial dan politik, kemungkinan besar merasa terhambat pengembangan pemikiran kritisnya.
Selain itu, kegiatan magang yang semakin penting memiliki dampak yang tersembunyi. Meskipun magang memberikan wawasan praktis dunia kerja, magang juga memicu pola depolitisasi. Mahasiswa yang sibuk magang memiliki sedikit waktu atau energi untuk terlibat dalam aktivitas politik, diskusi, atau aksi mahasiswa. Ini bisa mengurangi semangat kritis di kalangan mahasiswa karena tuntutan dunia kerja menjadi prioritas utama.
Efek akhir pola depolitisasi adalah perubahan orientasi organisasi dan gerakan mahasiswa. Daripada fokus pada pergerakan kolektif dan deliberatif, mahasiswa lebih cenderung mementingkan pengembangan keterampilan individu yang relevan dengan pasar kerja. Tentu ini memunculkan risiko, mahasiswa akan lebih memprioritaskan aspek teknis dan komersial dalam pendidikan mereka daripada keterlibatan dalam perubahan sosial dan politik. Akibatnya peran mahasiswa dalam kampus dan masyarakat berubah dari agen perubahan menjadi komoditas tenaga kerja yang hanya dihargai atas keterampilan teknis yang dimiliki.
Penting menekankan dalam konteks gerakan mahasiswa, keberadaan jalur aksi yang melampaui struktur formal menjadi semakin penting. Ini bukan sekadar sebuah saran, melainkan suatu keharusan untuk menjaga gerakan tetap hidup dan relevan. Gerakan mahasiswa harus mampu beroperasi di luar dari batasan struktur formal dan bahkan harus memiliki kemampuan untuk menantang struktur-struktur tersebut.
Ketika kita menjelajahi lebih dalam, terlihat tren birokratisasi meresap dalam pemerintahan mahasiswa dengan perlahan namun pasti. Birokratisasi ini tidak hanya merujuk proses administratif yang semakin rumit, tetapi juga dominasi nilai-nilai dan tujuan yang bersifat pragmatis dalam pengambilan keputusan organisasi. Dalam konteks pemerintahan mahasiswa, birokratisasi mengacu pada transformasi organisasi yang semula untuk mewakili beragam moralitas dan aspirasi mahasiswa menjadi sebuah entitas yang terpaku pada efisiensi, struktur formal, dan pertimbangan praktis.
Penulis berargumen bahwa birokratisasi telah menyimpang jauh dari inti pemerintahan mahasiswa yang seharusnya. Pemerintahan mahasiswa adalah wadah yang mencerminkan dan merangkul beragam suara dan nilai-nilai dari kalangan mahasiswa. Namun dengan mendominasinya aspek-aspek birokratis dan pragmatis dalam pengambilan keputusan, pemerintahan mahasiswa kehilangan esensinya sebagai wadah perwakilan yang ideal. Sebaliknya, fokus beralih kepada menjaga status quo, mempertahankan struktur formal, dan mengejar tujuan yang cenderung praktis dan terbatas.
Namun, pandangan ini mengungkapkan bahwa keberadaan lembaga seperti BEM dan BPM, meskipun memiliki peran penting, dapat sekaligus menghambat minat partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa. Di sisi lain, ada keyakinan bahwa gerakan mahasiswa tetap memiliki potensi untuk berlangsung tanpa ketergantungan penuh pada pemerintahan mahasiswa. Penulis berpendapat bahwa pemerintahan mahasiswa memiliki tanggung jawab moral yang besar, tetapi memiliki keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya. Selain itu, lembaga-lembaga mahasiswa dewasa ini dipertanyakan sejauh apa mereka dapat mewakili Kema Unpad secara menyeluruh?
Kontroversi: Tantangan Terkini Pemerintahan Mahasiswa
Dalam beberapa tahun terakhir, situasi politik rumit yang dihadapi oleh Kema Unpad tercermin dari berbagai fakta. Salah satu dimulai pada 2021, dampaknya sudah terasa bahkan hanya kurang lebih satu bulan sejak BEM Kema 2021 menjabat. Belum ada pengumuman nama Kepala Bidang menjadi tanda tanya besar, ditambah ketidakjelasan perekrutan Kepala Departemen (Kadep) dan staf telah menciptakan awal delegitimasi di mata publik. Hal ini semakin diperburuk dengan kenyataan posisi Kadep dan staf BEM Kema yang sebelumnya selalu menjadi tujuan ambisius banyak mahasiswa, kini justru cenderung dihindari. Alasannya adalah beban berat yang diemban sepanjang tahun jabatan, ditambah dengan gelombang delegitimasi publik yang berpotensi memengaruhi secara permanen. Tidak mampunya BEM Kema dalam mengatasi isu-isu penting Kema Unpad menjadi pembenaran bagi kubu kalah dalam Pemilihan Raya Mahasiswa (Prama) 2020, yang pada akhirnya memperdalam polarisasi di antara BEM Kema dan berbagai pihak yang terlibat.
Pola ini makin rumit ketika BEM Kema Unpad yang semula lembaga mahasiswa mendadak dijuluki sebagai ‘Pengkhianat Jabar’ dalam Musyawarah Nasional (Munas) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada 2021. Kritik ini timbul karena buruknya koordinasi internal dengan BEM Fakultas dan perilaku kepemimpinan BEM Kema Unpad yang tidak mendukung keputusan BEM SI wilayah Jawa Barat untuk tidak berpartisipasi dalam Munas. Keadaan makin buruk ketika BEM Kema Unpad tiba-tiba muncul sebagai perwakilan Jawa Barat dalam Munas, padahal tidak ada koordinasi sebelumnya dengan BEM wilayah tersebut.
Tahun berikutnya terjadi insiden lain. Setelah berhasil mencapai kesepakatan melalui Hasil Konsolidasi Terbuka dan Musyawarah Mahasiswa, BEM Kema Unpad dinyatakan sebagai anggota aktif di BEM SI Kerakyatan. Namun, saat pelaksanaan Munas, terjadi perubahan dinamika tidak terduga, terdapat perubahan keputusan yang telah diambil. BEM Kema Unpad mendadak terpilih sebagai Koordinator Isu Politik dan Demokrasi BEM SI Kerakyatan, sebuah keputusan yang menimbulkan pertanyaan, kritik, dan kekecewaan besar karena tidak sesuai hasil Musyawarah Mahasiswa sebelumnya. Mencermati situasi ini, diadakan Forum Pertanggungjawaban BEM Kema Unpad dalam Musyawarah Nasional ke-XV. Meskipun berupaya meyakinkan pihak lain, banyak ketua lembaga yang tetap mengkritik keputusan tersebut. Akhirnya, Ketua BEM Kema Unpad 2022, Virdian Aurellio, mengambil langkah untuk mengakhiri kontroversi dengan menyetujui hasil dari diskusi panjang tersebut, yaitu mundurnya BEM Kema Unpad sebagai Koordinator Isu BEM SI Kerakyatan 2022.
Puncak kekacauan yang lebih kompleks datang pada akhir 2022 ketika pasangan calon Ketua dan Wakil Ketua BEM Kema Unpad, Bintang Muhammad Daffa dan Morin Azzahra, tiba-tiba mengundurkan diri sehingga terjadi kekosongan kepemimpinan yang berlangsung selama dua bulan hingga awal 2023. Untuk pertama kalinya, Kema Unpad melakukan tiga kali musyawarah mahasiswa selama November hingga Januari untuk mencari solusi atas situasi politik yang makin buruk. Kema Unpad pun mulai meragukan akuntabilitas trias Prama, Badan Penyelenggara, Badan Pengawasan, dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Prama (DKPP), yang terlihat melupakan nilai-nilai fundamental sistem pemilihan itu sendiri. Meskipun akhirnya ditemukan pasangan calon serta terpilihnya Ketua dan Wakil Ketua BEM Unpad 2023, krisis politik yang baru saja berlalu meninggalkan dampak yang menggores fondasi politik pemerintahan mahasiswa.
Pemilihan Raya Mahasiswa: Terjalnya Jalan Partisipasi Mahasiswa
Lebih ironisnya, kelemahan dalam kredibilitas pemerintahan mahasiswa ini terbaca dari pergelaran Prama. Data mengenai pemilihan 2015—2022 secara jelas memperlihatkan angka partisipasi pemilih yang sangat rendah. Fenomena ini mencerminkan kegagalan konsep representasi yang digunakan oleh pemerintahan mahasiswa dalam mengajak mahasiswa berpartisipasi serta dampak dari pemadatan program-program kampus yang membatasi partisipasi mereka.
Pada rentang 2015–2019 cenderung stabil, tetapi terjadi fluktuasi partisipasi pemilih setelah itu. Dalam perbandingan sederhana, dapat dibaca seperti ini: pada 2020 hanya kurang lebih 30 dari 100 mahasiswa yang menggunakan suaranya , pada 2021 hanya kurang lebih 20 dari 100 mahasiswa yang menggunakan suaranya, dan pada 2022–terjadi penurunan terendah dalam sejarah Kema Unpad–hanya kurang lebih 5 dari 100 mahasiswa yang menggunakan suaranya/visualisasi: M. Roby Septiyan
Tren fluktuasi partisipasi pemilih dalam Prama (BEM) Kema Unpad 2015–2022 menggambarkan kondisi memprihatinkan. Perjalanan Prama dari 2015–2022 membawa kita kepada gambaran pemerintahan mahasiswa semakin terpinggirkan dan merosot dalam legitimasinya. Angka partisipasi pemilih yang makin mendekati nol justru menjadi bukti runtuhnya daya tarik pemerintahan mahasiswa. Dalam suasana yang semakin kacau dan bergejolak, kepercayaan dan minat mahasiswa terhadap sistem semakin terkikis, merujuk pada gagalnya konsep representasi yang diusung oleh pemerintahan mahasiswa dalam mengajak mahasiswa berpartisipasi.
Fakta hanya 13 dari 47 kursi anggota terisi dalam BPM Kema Unpad pun memberikan pemahaman lebih gelap tentang tantangan eksistensial yang dihadapi oleh pemerintahan mahasiswa. Tantangan ini nampaknya tidak terbatas persoalan teknis, melainkan isyarat pemerintahan mahasiswa semakin sulit mendapatkan dukungan dan partisipasi yang dibutuhkan. Bahkan BPM fakultas besar seperti FISIP, FIKOM, FMIPA yang seharusnya menjadi basis keanggotaan yang besar juga mengalami kesulitan, menegaskan bahwa mahasiswa semakin menjauh dari konsep pemerintahan mahasiswa.
Penulis menggarisbawahi lemahnya struktur dan legitimasi pemerintahan mahasiswa membawa kita pada lanskap yang semakin tajam dan perluasan yang lebih kritis. Perlu dicermati akar masalah yang mengakibatkan lemahnya struktur dan legitimasi pemerintahan mahasiswa adalah hal kompleks dan melibatkan berbagai faktor. Dalam analisis yang lebih mendalam, terdapat beberapa elemen penting yang mempengaruhi kondisi ini, yang terkadang bersifat internal dan eksternal.
Salah satu masalah internal yang signifikan adalah perubahan tata kelola dan budaya politik pemerintahan mahasiswa. Terlihat beberapa pemerintahan mahasiswa, termasuk Kema Unpad, mulai melihat legitimasi semata-mata dari sudut pandang politik, yang berarti mereka hanya mengukur keberhasilan berdasarkan pencapaian dalam indikator, janji politik, atau posisi jabatan. Pandangan yang sempit ini telah meredam semangat membangun legitimasi sosial yang lebih kokoh, yang seharusnya menjadi dasar bagi pemerintahan mahasiswa.
Selain itu, permasalahan eksternal seperti kondisi politik dan sosial yang berkembang di luar kampus berperan dalam menekan legitimasi pemerintahan mahasiswa. Krisis politik, konflik, dan ketidakstabilan yang melanda 2021–2023, mencakup pandemi COVID-19 serta liberalisasi pendidikan, mengganggu lingkungan kampus secara signifikan. Hal ini membuat mahasiswa cenderung untuk menarik diri dari proses politik internal kampus, akibatnya penurunan dramatis dalam partisipasi pemilih.
Dalam kondisi ini, pemerintahan mahasiswa semakin terperangkap dalam dinamika politik yang kurang efektif dan semakin terpencil dari mahasiswa serta masyarakat kampus. Masalah ini menjadi lebih kompleks terkait dengan perubahan sosial dan politik yang lebih luas dan tidak sepenuhnya dapat diatasi dengan perubahan internal semata. Oleh karena itu, tantangan bagi pemerintahan mahasiswa adalah memahami akar masalah ini secara menyeluruh, mulai dari aspek budaya politik internal hingga konteks eksternal yang mempengaruhinya.
Dalam situasi kompleks saat ini, menjadi jelas bahwa legitimasi politik saja tidak cukup untuk memastikan perwakilan kuat dan nyata bagi mahasiswa. Bagaimana mungkin kita menciptakan legitimasi yang mengakar jika ada struktur yang memandu mahasiswanya untuk berfokus pada hal-hal individual? Di tengah arus perubahan sosial yang semakin ganas, apa yang benar-benar kita butuhkan adalah legitimasi yang berakar pada kedekatan dan empati yang bersifat kolektif dan kontekstual. Pemerintahan mahasiswa harus sepenuhnya memahami bahwa mereka adalah suara mahasiswa, dan kewajiban mereka bukan sekadar untuk berbicara, tetapi juga benar-benar mendengar. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya. Kema Unpad yang seharusnya menjadi contoh model dalam proses deliberasi yang mendalam, justru terperangkap dalam arena pertikaian tanpa akhir. Semua ini hanyalah ironi yang menyebabkan kehilangan esensi dari proses yang seharusnya memperkuat keterbukaan dan dialog.
Lantas, apa yang kita bisa harapkan selanjutnya? Dinamika pasca krisis dalam Kema Unpad menggambarkan kehampaan yang melekat dalam dirinya. Kehampaan ini menjadi pola dari satu Prama ke Prama berikutnya, semua tanpa perubahan yang substansial. Kema Unpad semakin terlihat sebagai entitas lumpuh, hanya merespons tanpa mampu memimpin. Tidak ada lagi semangat inisiatif, hanya rutinitas mengatur program-program kerja yang seakan-akan menghindari perubahan yang lebih mendalam. Kema Unpad kini adalah penonton, menonton perubahan dari sisi lapangan tanpa mampu merangkulnya secara substantif. Perubahan yang datang hanya sebagai respons yang reaksioner, dan tidak pernah meniti jalan yang proaktif. Kita seperti ikan yang tertidur, yang pada akhirnya hanya bisa mati tenggelam karena tidak mampu bergerak dalam arus yang lebih besar.
Antara Reformasi dan Pembubaran: Alternatif Masa Depan Pemerintahan Mahasiswa
Dengan tegas, penulis harus mengajukan pertanyaan: apakah pemerintahan mahasiswa masih mampu menjadi perwakilan dan pembawa aspirasi mahasiswa, atau sudah waktunya untuk mereformasi, atau bahkan menggantikan konsep ini? Tantangan kompleks dan tuntutan perubahan semakin mendesak membutuhkan respons lebih tajam dan proaktif. Jika pemerintahan mahasiswa tetap memilih jalur pasif dan stagnan, kita harus berhadapan dengan realitas yang lebih pahit: bahwa pemerintahan mahasiswa tidak lagi memiliki tempat yang signifikan dalam perubahan sosial dan dinamika kampus.
Dalam konteks permasalahan yang menggerogoti pemerintahan mahasiswa, penting untuk melihat opsi-opsi perubahan dengan sikap skeptis. Reformasi struktur pemerintahan kampus atau bahkan pembubaran Kema Unpad hanyalah langkah permukaan yang belum tentu mengatasi akar permasalahan yang lebih dalam. Data yang mengungkap rendahnya partisipasi dalam pemilihan mahasiswa dan penurunan kualitas representasi semakin menggarisbawahi bahwa situasi ini telah melewati batas kemunduran.
Reformasi struktur pemerintahan kampus mungkin dianggap sebagai solusi rasional, namun apakah memang realistis untuk mengubah arah sebuah sistem dengan hanya merombak beberapa aturan dan mengharapkan hasil yang berbeda? Sudah saatnya kita memandang jernih bahwa solusi teknis semacam ini tidak bisa menyelamatkan sistem yang terperangkap dalam jaringan kepentingan sempit, birokrasi kaku, dan sikap reaktif. Merombak struktur saja tidaklah cukup jika inti dari perjuangan tetap sama: merebut otoritas dan membina harapan atas perubahan yang seringkali pupus sebelum mencapai tujuan.
Namun, mungkin saatnya juga kita berbicara secara tegas mengenai pembubaran Kema Unpad. Jika institusi yang seharusnya menjadi suara mahasiswa ternyata telah redup dan berangsur-angsur mati, apakah memang masih ada justifikasi untuk mempertahankannya? Mungkin Kema Unpad sudah melampaui batas legitimasi yang dapat diberikan. Menghancurkan struktur yang sudah terkontaminasi dari dalam bisa menjadi tindakan mendesak untuk membangun kembali pondasi yang lebih kokoh. Meskipun opsi ini terdengar radikal dan mengundang semangat perlawanan, kita tidak boleh terbuai oleh euforia sesaat sehingga mengaburkan pandangan atas masalah yang lebih luas. Jika pemerintahan mahasiswa telah menjauh dari makna representasi dan pelayanan kepada mahasiswa, pertanyaannya adalah: apakah pembubaran sebuah entitas secara otomatis dapat merentangkan akar permasalahan yang ada? Permasalahan ini tidak hanya tentang struktur dan nama. Ia menyangkut budaya politik yang mengkhawatirkan, dengan kecenderungan untuk lebih mementingkan kekuasaan dan prestise daripada tanggung jawab dan dedikasi. Dalam kondisi seperti ini, jangan sekadar percaya bahwa menghancurkan Kema Unpad akan mengakhiri krisis yang lebih mendalam.
Merombak Kema Unpad: Harus Lebih dari Sekedar Reformasi Aturan
Yang lebih krusial adalah mengembalikan semangat mahasiswa untuk bertindak dan berorganisasi di luar koridor formal yang semakin terhenti. Jika Kema Unpad hanya menjadi alat untuk mengikuti rutinitas, maka perlu dipertanyakan apakah semangat perubahan masih bisa ditemukan di dalamnya. Ketika ruang partisipasi telah hancur oleh sikap apatis dan skeptis, maka perlu dibangun kembali dari akar rumput, dengan meninggalkan pola-pola yang terlalu formal yang hanya menghambat kreativitas dan inisiatif mahasiswa.
Reformasi atau bubar seharusnya menjadi pukulan panggilan untuk perubahan yang lebih mendasar. Ini adalah langkah yang tidak hanya menandai akhir dari satu babak, melainkan juga awal gerakan yang lebih radikal dan komprehensif. Namun, jangan cukup berpuas dengan perubahan sebatas tampilan di permukaan. Apapun langkah yang diambil, harus diiringi oleh tuntutan keras dari mahasiswa serta dukungan kolektif dari berbagai elemen dalam lingkungan kampus. Saatnya telah tiba untuk meninggalkan retorika dan perdebatan yang tak kunjung usai. Kema Unpad harus menghadapi pertanyaan mendasar: Apakah kita benar-benar mewakili mahasiswa? Apakah kita adalah suara perubahan yang sesungguhnya? Jika tidak, maka persiapkan diri untuk meruntuhkan status quo yang telah bertahan terlalu lama. Bersiaplah untuk menghadapi perlawanan, konflik, dan penolakan, karena hanya melalui perjuangan yang nyata kita bisa meraih perubahan yang diinginkan.
Pemerintahan mahasiswa pada hakikatnya adalah cerminan dari mahasiswa itu sendiri. Inti dari konsep perwakilan ini terletak pada setiap mahasiswa yang memiliki tanggung jawab untuk mewakili serta menyatukan berbagai kepentingan. Dalam lingkup komunitas kampus yang relatif kecil, pemerintahan mahasiswa memiliki dimensi personal yang sangat signifikan—hal ini berbeda dengan politik nasional yang terkadang terasa asing. Namun, sebagai mahasiswa, kita memiliki keistimewaan untuk mengenali siapa yang sebenarnya mewakili kita serta nilai-nilai yang mereka anut. Mahasiswa adalah nyawa dan semangat dari pemerintahan mahasiswa itu sendiri. Kendati demikian, jika sistem yang kita hadapi justru membawa kita ke dalam kondisi yang kehilangan semangat perdebatan dan kekurangan pondasi pemikiran yang konstruktif, maka sebagai mahasiswa, kita memiliki keberanian untuk mengambil langkah adaptif dan kontekstual dalam mengubah keadaan.
Penulis: Mochamad Attur Mehta Kusmana
Editor: M. Roby Septiyan