Sebagai penyandang nama “pemuda,” kita patut meyakini dan memahami bahwasanya pemuda selalu menjadi salah satu bagian dari perjalanan panjang dalam pembaruan pemikiran. Sebuah bangsa lahir dari rahim pergerakan pembaharuan kaum muda itu sendiri.
Kita dapat melihat kejadian penculikan Rengasdengklok yang menjadi salah satu momentum penting atas proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia ini. Dalam sejarah Peristiwa Rengasdengklok, Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada Jumat (17/08/1945). Peristiwa itu mempertegas bahwasanya Indonesia murni merdeka karena perjuangan rakyat dengan kaum muda sebagai inisiatornya. Peristiwa Rengasdengklok terjadi karena siasat para pemuda yang menginginkan kemerdekaan lebih cepat setelah mengetahui Jepang kalah dalam Perang Pasifik. Para pemuda yang terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta di antaranya adalah Soekarni, Aidit, Wikana, dan Chaerul Shaleh.
Episentrum Gerakan
Konsep gerakan mahasiswa yang kita ketahui sering disesuaikan dengan konsep pengabdian, seperti pengabdian kepada masyarakat, lebih mudah direfleksikan. Namun jika kita melihat secara holistik, keadaan mahasiswa dan keadaan sosial yang berubah seharusnya menjadi alasan untuk menyesuaikan pemahaman atas kondisi tersebut. Pemahaman mengenai pergerakan seharusnya diperluas juga diperbarui karena mempunyai keragaman orientasi bagi kalangan mahasiswa.
Secara epistemologi, episentrum gerakan terdiri dari kata episentrum yang dapat diartikan sebagai pusat atau inti dan gerakan yang merupakan sebuah homonim, yaitu kata yang arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Gerakan di sini memiliki arti dalam kelas nomina. Jadi, paradigma dari episentrum gerakan adalah titik atau inti, bisa disebut sebagai kiblat, dari suatu pergerakan yang sifatnya terpusat dan mempunyai tujuan yang jelas serta konkret.
Gerakan Pembaruan
Gerakan pembaruan di kalangan mahasiswa sudah mulai populer. Hal tersebut terlihat ketika mahasiswa menggaungkan kata pembaruan dalam ranah–ranah yang sifatnya mengkritik. Ketika muncul ketidakadilan, solusi yang terlintas dalam pikiran mahasiswa adalah pembaruan. Hal tersebut elitis sifatnya karena gerakan pembaruan membutuhkan kerelaan sepenuhnya dalam menggapai cita-cita dengan segala resiko akan yang diterima. Hal ini menjadi hal yang lumrah bagi sekumpulan kaum muda yang masih mempunyai tenaga segar dan pikiran yang masih tajam. Tidak sedikit kaum muda yang di dalam hatinya punya keinginan untuk memperbarui suatu sistem atau suatu pemikiran yang dianggap perlu dilakukan perubahan ke arah yang lebih konkret. Di sinilah peran mahasiswa sebagai generasi yang nantinya meneruskan tonggak perjuangan dalam mempertahankan bangsanya sendiri. Dengan cara apa? Caranya yaitu, tetap mengasah intelektual untuk pembaruan yang lebih maju karena tantangan zaman terus datang menghampiri dari masa ke masanya
Konsep Gerakan Pembaharuan dan Gerakan Tajdid
Secara makna gerakan pembaharuan dan gerakan tajdid itu sama. Tajdid berasal dari kata jadda – yajiddu – jiddan/jiddatan. Artinya sesuatu yang ternama, yang besar, nasib baik, dan baru. Tajdid dimaknai dalam tiga hal. Pertama, tajdid dimaknai sebagai i’adat al-syaiy ka’l-mubtada atau mengembalikan sesuatu pada tempat semula.
Pemikiran tajdid selaras dengan salah satu hadits Nabi Muhammad SAW dalam sebuah riwayat Abu Dawud. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya pada setiap penghujung seratus tahun, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengutus untuk umat ini orang yang akan memperbaharui agama mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3740 dan dinilai shahih oleh Syeikh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 599).
Tajdid dan pembaruan, kedua variabel yang sebetulnya sama saja karena keduanya memiliki tujuan dan konsep yang sama. Hanya saja seringkali, gerakan ini terhalang oleh tembok yang dinamakan kesopansantunan atau pemikiran-pemikiran yang dianggap kolot bagi kalangan mahasiswa. Sebab pada dasarnya, ketika ada pembaruan, di situ pasti ada distorsi atau pendapat yang berseberangan dalam pemikiran pembaruan itu sendiri. Narasi gerakan pembaruan ini biasanya dibawa oleh para kaum muda yang dipelopori oleh mahasiswa.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan, episentrum gerakan pembaruan tidak pernah lepas dari kaum muda yang mempunyai hasrat atau gairah mengubah suatu peradaban yang sudah seharusnya diperbarui dari segi pemikiran, narasi, dan gagasan. Namun harus kita ketahui, gerakan pembaruan tidak cukup dengan waktu yang singkat karena gerakan pembaharuan terjadi karena dinamika yang panjang. Begitu pula narasi gerakan tajdid yang populer dan sering muncul ke permukaan. Di sinilah nilai kritis dimunculkan dalam gerakan ini, di mana kita sebagai mahasiswa atau kaum muda perlu paham dan mengerti konsep tajdid secara umum maupun secara konsep humanitas dan religiusitas.
Tulisan ini merupakan tulisan kiriman dari kontributor dan tidak mencerminkan pandangan dari Warta Kema Unpad 2022.
Penulis: Ridwan Marwansyah (Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)
Editor: Disma Alfinisa