Pembacaan puisi oleh Regina Alya, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) / Sumber: Fotografi Warta Kema
Pembacaan puisi oleh Regina Alya, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) / Sumber: Fotografi Warta Kema
Pembacaan puisi oleh Regina Alya, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) / Sumber: Fotografi Warta Kema

Warta Kema – Sebuah aksi unjuk rasai digelar pada Jumat (05/09) untuk menagih pemenuhan 17+8 tuntutan rakyat. Bertajuk  “Piknik Nasional Rakyat,” aksi ini mengundang semua pihak baik dari mahasiswa maupun masyarakat biasa untuk turut mendesak penyelesaian rangkaian tuntutan tersebut pada pemerintah.  Aksi dimulai pada pukul 13.00 WIB hingga pukul 16.30 WIB di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 

Salah satu bentuk penyuaraan aspirasi adalah dengan puisi. Regina Alya dan Siti Aisah, dua mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) angkatan 2024, yang menyampaikan keresahan mereka melalui puisi dengan judul “Langkah menuju Genggaman.” Regina dan Siti memilih puisi sebagai bentuk aspirasinya karena mereka dapat bebas mengekspresikan keresahannya melalui diksi-diksi yang beragam.

“Dari puisi ini, kita bebas untuk mengekspresikan berbagai diksi-diksi yang menjadikan ini sebuah celotehan atau pun sebuah landasan kita untuk menyuarakan kondisi saat ini,” jelas Siti.

Regina dan Siti mulai mengerjakan puisi mereka sejak pukul 00.00 WIB pada Kamis (04/09) sebelumnya. Pada pukul 02.00 WIB, mereka sudah mulai latihan membaca puisi tersebut. 

“Kita berdua di sini, bersama-sama, bisa mewakilkan perasaan dan juga keresahan hati para rakyat sipil Indonesia, para mahasiswa, semua elemen manusia di Indonesia yang memang pada dasarnya butuh keadilan. Kami butuh ketenangan dalam hidup kami, butuh (juga) kedamaian pada negeri kami. Maka dari itu, kami memilih bentuk puisi untuk menyuarakan hati, keresahan, juga pikiran rakyat sipil Indonesia,” Tutur Regina. 

Regina dan Siti juga menambahkan bahwa merasa takut di kondisi saat ini merupakan hal yang wajar, tetapi tidak boleh diam. Mereka menekankan bahwa jika memilih untuk diam, berarti setuju dengan kondisi negara saat ini. Siti merasa bahwa mahasiswa merupakan kepanjangan tangan dari masyarakat, maka dari itu, harus merasa peduli terhadap kondisi negara pada saat ini. 

“Untuk mahasiswa, kita sebagai kaum intelektual, kita yang tau kondisi saat ini, kita merupakan kepanjangan tangan dari masyarakat, kita perlu peduli. Takut itu wajar, takut itu boleh, tapi diam yang tidak boleh. Diam berarti setuju dengan (kondisi) negara ini, setuju dengan tonggak tiang merah putih yang tidak bisa berkobar sekarang, setuju dengan segala kebijakan yang telah ditetapkan,” tambah Regina. 

Selain puisi, salah satu cara massa aksi menyampaikan aspirasi mereka adalah melalui cosplay atau costume play. Melansir dari laman The Washington Post, cosplay diartikan sebagai sebuah kegiatan ketika peserta, yang disebut dengan cosplayer, menggunakan kostum dan aksesori busana untuk mewakili tokoh tertentu. Di aksi “Piknik Nasional Rakyat,” salah satu cosplayer yang hadir adalah Togy Maruru, yang datang sebagai tokoh Luffy dari serial animasi One Piece. Alasan Togy datang sebagai tokoh Luffy adalah untuk memperjuangkan suara masyarakat. Togy sendiri memiliki opini terhadap cosplayer lain yang hanya mengunggah ulang tuntutan-tuntutan, ia merasa bahwa lebih baik diucapkan secara langsung.

Tokoh Luffy dari serial animasi One Piece yang diperankan oleh Togy Maruru di depa Gedung DPR / Sumber: Fotografi Warta Kema
Tokoh Luffy dari serial animasi One Piece yang diperankan oleh Togy Maruru di depa Gedung DPR / Sumber: Fotografi Warta Kema

“Teman-teman saya yang cosplayer banyak sekali yang me-repost tuntutan-tuntutan seperti itu. Cuman di balik itu, sebenarnya banyak yang kurang paham, apa sih, ganti (display picture) DP (menjadi warna) pink hijau, segala macem. Mukanya mana, gitu? Katanya mau menyuarakan, tapi kok cuman tulisan doang, kita ‘kan ga bisa dengar tulisan. Tulisan itu cuma bisa kita baca karena suaranya ada, diucapkan dari mulut langsung,” ujarnya.

Togy juga menjelaskan bahwa serial animasi One Piece memiliki keselarasan tujuan dengan aspirasi yang disampaikan pada aksi hari itu. Ia merasa bahwa jika masyarakat menonton One Piece, maka akan merasa terhubung dengan kondisi Indonesia pada saat ini.

“Kita ini di Indonesia, bukan berarti kita melawan pemerintah saat memegang bendera ini (bendera yang menjadi lambang dari serial One Piece), tetapi kita ingin memberi alarm atau peringatan. Misalnya, ada cerita, anime, atau kartun yang mirip dengan kondisi negara kita, itu bisa ditonton dan dibaca supaya literasi masyarakat semakin berkembang, jangan hanya represif. Karena yang sering terjadi adalah ketika seseorang membawa bendera One Piece, langsung dipukul, ditangkap, dan sebagainya, padahal alasannya tidak jelas. Itu yang ingin saya tekankan,” tutur Togy.

Dari puisi yang dibacakan oleh Regina dan Siti, sampai pesan yang disampaikan Togy melalui cosplay-nya, semuanya berfokus ke menyuarakan kembali keresahan dari masyarakat. Dengan berbagai bentuk penyuaraan aspirasi, diharapkan agar 17+8 tuntutan rakyat tidak hanya didengarkan, tetapi dilaksanakan. 

Reporter: Ammara Azwadiena

Penulis: Alifia Pilar Alya Hasani, Fernaldhy Rossi Armanda, Sabila Luthfia Hana

Editor: Syafina Ristia Putri, Andrea Hillary Gusandi

Authors

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *