Kabar baik untuk pers mahasiswa di seluruh penjuru Indonesia. Pada 18 Maret 2024, tepatnya di Jakarta, Dewan Pers menggandeng Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk meneken perjanjian Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai landasan hukum.
Arif Zulkifli sebagai Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers bersama Sri Suning Kusumawardani sebagai Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbud membentuk kesepakatan dalam perjanjian ini untuk menetapkan landasan hukum bagi pers mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Kemendikbud Ristek.
Dikutip dari perjanjian kerja sama Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi yang mencakup:
1. peningkatan kompetensi mahasiswa dalam aktivitas jurnalistik di lingkungan perguruan tinggi;
2. penyelesaian sengketa yang timbul dari aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi;
3. pelaksanaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka bagi mahasiswa yang dilaksanakan secara mandiri oleh PIHAK KESATU (Dewan Pers) di lingkungan Dewan Pers; dan
4. pertukaran data dan informasi yang relevan dengan tujuan Perjanjian ini.
Tertera pada perjanjian tersebut bahwa tanggung jawab dari pihak Dewan Pers meliputi pemberian pelatihan dan fasilitas yang akan membantu kelancaran berjalannya aktivitas jurnalistik mahasiswa dalam lingkungan perguruan tinggi. Sementara, pihak Kemendikbud Ristek akan memberikan dukungan dan dorongan untuk peneguhan fasilitas-fasilitas yang akan ditetapkan bagi pers mahasiswa.
Bentuk perjanjian ini belum berupa perundang-undangan dan hanya akan melalui periode sepanjang 3 tahun sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pers mahasiswa (persma) dapat menghela napas lega karena kesepakatan bahwa penyelesaian sengketa yang timbul dari aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi akan dimediasi melalui Dewan Pers.
“Sebagai pers mahasiswa, (aku) menyambut baik banget karena itu jadi salah satu payung hukum yang akhirnya bisa jadi pelindung bagi kita persma-persma untuk bisa ngelakuin kerja jurnalistik tanpa perlu takut ada masalah nanti kedepannya. Karena DJ (LPM DJatinangor) pun, tahun lalu tepatnya, itu beberapa kali pernah ngadepin masalah serupa,” ucap Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa DJatinangor Ridho Danu Prasetyo.
“Kayak berita kita yang dipermasalahkan oleh kampus dan akhirnya diselesaikan secara sepihak oleh kampus. Karena persma gak punya aturan yang bisa membantu kita dan melindungi kita dari permasalahan yang timbul akibat pemberitaan kita, gitu. Nah, dengan adanya perjanjian dengan Kemendikbud dan Dewan Pers ini, kan dijamin, ya, bahwa sengketa yang ditimbulkan dari karya pers mahasiswa itu nanti diselesaikannya lewat Dewan Pers juga, gitu,” lanjut Danu.
Danu juga menjelaskan bahwa perjanjian ini dapat menguntungkan pihak kampus karena ia berpendapat bahwa jika perjanjian ini sudah diterapkan dalam kampus, petinggi-petinggi kampus akan mengetahui cara menanggapi dan menangani kritik dari pers mahasiswa terhadap kampus secara objektif, adil, dan kredibel.
Kemungkinan untuk pihak kampus mencabut tulisan persma akan berkurang jika pemberitaan memang sudah sesuai fakta dan mengikuti Kode Etik Jurnalistik. Pengadaan seminar, pelatihan, workshop juga menjadi kabar baik bagi Danu karena Dewan Pers yang berisikan para wartawan dan jurnalis senior tentunya akan menjadi bantuan besar untuk peningkatan kompetensi persma agar lebih tajam dan kritis dalam melihat permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kampus dan sekitarnya.
Persma tidak perlu lagi merasa takut terhadap kemungkinan represi atau pembredelan, terlebih dengan adanya perlindungan dari payung hukum yang jelas dari Dewan Pers saat ini.
“Apalagi di-provide langsung sama Dewan Pers yang mana kita tahu Dewan Pers itu kan pasti banyak tenaga ahli-nya, banyak yang memang wartawan-wartawan senior, jurnalis-jurnalis senior yang memang udah ngerti, gitu, gimana caranya bekerja di lapangan. (Mereka) awalnya berkarir di pers mahasiswa semasa mereka kuliah, jadi akan sangat membantu sih menurutku.”
Jika kita bergeser sedikit ke kacamata rektorat, tidak ditemukan oposisi dalam keputusan ini. Boy Yoseph sebagai Direktur Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni berpendapat sama.
“Ya, saya menyambut baik, lah. Kalau ada persetujuan di antara Dewan Pers dan Kemendikbud Ristek karena memang pers yang ada di universitas, terutama di (lingkungan) mahasiswa, itu mereka belum punya payungnya; dia harus ke siapa (untuk bertanggungjawab) dan mempertanggungjawabkan pekerjaan jurnalistiknya. Sehingga kamu tahu berita-berita mana saja yang bisa dimunculkan,” ungkap Boy.
Selain menekankan harapan bagi pers mahasiswa untuk bisa lebih mempertanggungjawabkan tulisannya, Boy juga beranggapan bahwa dari perjanjian ini dapat memperbesarkan nama universitas dengan pemberitaan yang lebih luas.
“Kita bisa lebih gencar lagi, ya, maksudnya UNPAD ini (bisa) dikenal,” tutup Boy.
Untuk lebih jelasnya, Warta Kema memutuskan untuk melakukan wawancara dengan Arief Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers yang menandatangani perjanjian itu sendiri.
“Jadi dasarnya sebetulnya adalah keprihatinan kami di Dewan Pers bahwa ada kasus-kasus di mana pers mahasiswa itu, akibat sengketa pemberitaan terutama dengan civitas akademika—rektor, dekan, pejabat universitas, dan lain-lain—itu ruang geraknya dibatasi. Di sana pers mahasiswanya dibredel, mahasiswanya gak boleh ikut skripsi, seperti yang terjadi di Maluku (LPM Lintas IAIN Ambon), bahkan sampai masuk pengadilan. Nah, kami sangat prihatin terhadap ini. Bukan sekadar bahwa persma itu harus dibela kebebasan persnya, tapi juga karena kami menyadari bahwa persma merupakan sumber dari pasokan atau sumber dari supply SDM yang berkualitas kepada media-media mainstream yang ada,” pungkas Arief.
Diketahui dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, pers umum sudah dilindungi oleh hukum. Namun, pers mahasiswa dikecualikan dari perlindungan tersebut karena alih-alih lembaga, mereka berbentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berada di bawah naungan kampus yang memiliki birokrasi tersendiri.
“Sehingga dengan demikian diharapkan manakala ada dispute pemberitaan, Dewan Pers dilibatkan untuk penyelesaian. Nah, kalo di Dewan Pers penyelesaian dari sebuah dispute pemberitaan bukanlah melalui pemecatan, kriminalisasi, tidak boleh ikut skripsi, dan lain sebagainya, tapi penyelesaiannya hanya etik. Jadi, yang diperiksa adalah pemenuhan prinsip-prinsip etik oleh pers mahasiswa. Kemudian nanti kalau memang dianggap ada kesalahan, ya, dia harus menjalankan hukuman etik juga, misalnya minta maaf, memberikan hak jawab, meralat berita, dan seterusnya,” sambung Arief.
Walaupun terhambat lebaran, Dewan Pers akan tetap melakukan sosialisasi kepada kalangan mahasiswa dan perguruan tinggi.
Terkait kemungkinan sengketa antara pers mahasiswa, Arief juga menyampaikan, “Tidak ada jaminan bahwa persma–dengan perjanjian kerja sama ini–akan otomatis menjadi dilindungi kemerdekaan persnya. Karena perjanjian kerja sama atau PKS itu bukanlah sesuatu yang mengikat, jadi binding-nya itu gak kuat, tapi itu adalah hal yang minimal bisa kita lakukan oleh Dewan Pers. Ketimbang tidak ada sama sekali.”
Arief pun menjelaskan mengenai keputusan pelaksanaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang akan diterapkan oleh Dewan Pers.
“MBKM itu sebetulnya adalah materi tambahan yang diminta oleh kementerian agar perusahaan media bersedia memfasilitasi kalangan kampus jika mereka membutuhkan program magang. Kami di Dewan Pers dan komunitas pers sangat terbuka terhadap para mahasiswa yang memang ingin menjalankan magang merdeka di perusahan-perusahaan pers,” katanya.
Arief juga menegaskan bahwa untuk mengubah perjanjian tersebut menjadi lebih mengikat, memang ada benarnya untuk dijadikan perundang-undangan, tetapi hal tersebut akan melibatkan DPR, di mana antrian untuk membentuk perundang-undangan baru sangatlah panjang dan akan sangat bernuansa politik. Alternatifnya adalah untuk dijadikan sebagai Peraturan Menteri (Permen).
“Tapi kita tidak bisa memaksa kalau sifatnya Permen. Itu sepenuhnya ada di dalam wewenang dari pembuat peraturan, dalam hal ini adalah menterinya. Nah, apakah kita akan mengarah ke sana? Saya berharap itu mengarah ke sana. Cuman, sekali lagi, kita bukan pihak yang bisa menentukan semuanya, jelas Arief.”
Teken perjanjian ini menandakan pers mahasiswa bisa menggunakan tameng dari Dewan Pers untuk bisa menghasilkan tulisan yang lebih teliti, tajam, kritis, dan peka terhadap lingkungan kampus dengan permasalahan yang ada. Kemajuan ini berpotensi untuk meningkatkan kualitas pers mahasiswa di seluruh penjuru Indonesia setelah harus menghadapi sengketa-sengketa dari pihak kampus yang dipersulit dengan tidak adanya payung hukum yang melindungi.
Reporter: Naia Emmyra
Editor: Shakila Azzahra M., Zulfa Salman