(Ilustrasi perempuan dalam dunia laki-laki, sumber: pixabay/mohamed_hassan)
Dalam perjalanan peradaban manusia, kegiatan berbagi pengetahuan telah ada dan menjadi hal yang senantiasa kita lakukan baik sadar ataupun tidak sadar. Orang tua mengajarkan hal-hal terdasar dalam hidup kepada anak mereka. Secara perlahan seiring pertumbuhan sang anak dari bayi hingga dewasa, seusai menerima pengetahuan dari orang tua anak tersebut pergi menghadapi dunia luar. Sang anak melihat dan merasakan lingkungan baru yang berbeda dengan tempat asalnya, bertemu lebih banyak orang, menerima lebih banyak pengetahuan sembari membagikan pengetahuan yang dibawanya sendiri.
Pengetahuan yang diterima dan dimiliki setiap manusia berbeda, ditambah manusia dengan segala keterbatasannya tidak mungkin menguasai seluruh pengetahuan yang ada secara keseluruhan. Pengetahuan mengenai dunia dan alam semesta kemudian dibagi menjadi berbagai bidang yang kemudian berkembang pula menjadi jenis profesi yang mengelompokan manusia ke dalam posisinya masing-masing dalam masyarakat.
Manusia sebagai anggota masyarakat memiliki perannya masing-masing, sesuai dengan keunggulan yang dibawa sedari lahir atau keahlian yang dikembangkan seiring waktu di tempatnya berdiam. Di balik itu, setiap manusia memiliki kesempatan serta hak yang sama dalam memilih ke arah mana hati serta pikiran mereka ingin melangkah. Seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat yang memilih bidang pengetahuan serta jenis profesi yang dilalui mulai terlihat memiliki pola serta kecenderungan. Misalnya masyarakat dengan etnis tertentu yang cenderung memilih bidang pengetahuan tertentu hingga kecenderungan satu jenis kelamin pada satu bidang keilmuan atau profesi yang membuat rasio laki-laki dan perempuan di bidang tersebut menjadi timpang.
Di masa lalu, meski juga merupakan manusia, perempuan sebagai anggota masyarakat aktif yang berhak mendapat pengetahuan oleh hukum sosial beserta ketentuannya tidak dianggap layak untuk menerima pengetahuan dan berkesempatan menentukan jalan hidup sendiri sebagaimana laki-laki. Seiring berjalannya waktu dan pemikiran manusia terus mengalami perkembangan , isu akan perempuan yang layak menerima hak seperti manusia lainnya semakin marak dan semakin banyak. Perempuan turut membuktikan bahwa eksistensi mereka sebagai manusia pula layak didengar, hidup, dan tercatat dalam sejarah peradaban. Meski hingga saat ini perjalanan tersebut masih terus menemui kendala, perkembangan yang dapat dilihat adalah semakin banyaknya perempuan yang mengambil bagian dari bidang keilmuan atau profesi yang di masa lalu identik dengan laki-laki.
Suatu bidang keilmuan atau profesi bisa identik dengan satu golongan tertentu berdasar pada banyak alasan. Dalam kasus perempuan dan laki-laki, hingga saat ini masih ada beberapa bidang keilmuan atau profesi tertentu yang dominan digeluti oleh laki-laki, pekerjaan yang dianggap memiliki kesulitan tinggi, daya konsentrasi serta dedikasi tinggi jangka panjang, atau menuntut kekuatan fisik yang besar seperti pekerja keamanan, dokter, arsitek, insinyur, pemimpin perusahaan, anggota pemerintahan, penegak hukum, hingga sopir kendaraan umum seperti bus.
Di bidang keilmuan, jurusan berlabel ‘teknik’ yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia masih identik dan lebih banyak memiliki mahasiswa laki-laki dibandingkan perempuan. Dengan alasan yang hampir serupa dengan kasus profesi, tingkat kesulitan tinggi hingga tuntutan kekuatan fisik yang besar di beberapa bidang membuat jurusan ini lekat dengan mahasiswa laki-laki dalam waktu yang lama.
Berkat banyaknya narasi kesetaraan dan semakin banyak pula perempuan yang sadar akan potensi dalam diri mereka, di masa kini sudah banyak para mahasiswa perempuan yang memilih mendalami ilmu teknik. Menurut salah satu pengguna forum diskusi online Quora yang mengaku merupakan salah satu lulusan jurusan teknik sipil tahun 1992, di jurusan teknik sipil dahulu hanya memiliki 6 orang mahasiswa perempuan dari total 100 orang mahasiswa dalam satu angkatan, rasio perbandingan mahasiswa laki-laki dan perempuan di satu angkatan telah mendekati 50:50.
Kini, dinding pembatas yang ada di antara perempuan dan laki-laki di bidang-bidang tersebut kian menipis. Tidak hanya di bidang pengetahuan, telah banyak pula perempuan yang terbukti mampu menjalani profesi yang identik dilakukan oleh laki-laki. Misalnya kini banyaknya pengemudi bus Transjakarta perempuan, salah satu di antara mereka yang patut dijadikan inspirasi adalah RR. Retno Nurwani Candra Dewi, seorang sopir perempuan pertama Transjakarta yang sukses menjadi master driver.
Profesi lain yang awalnya identik dengan laki-laki, tetapi kini mulai dilakukan pula oleh perempuan adalah polisi. Sebagai penegak hukum yang bertanggung jawab akan keamanan, polisi identik dengan kekerasan dan senjata, kini para perempuan turut berpartisipasi dalam bidang tersebut, seluruh negara di dunia yang tercatat memiliki pasukan keamanan telah memiliki pasukan wanita.
Di Indonesia, terdapat polisi wanita (polwan) yang berhasil meraih pangkat jenderal bahkan di usia yang terbilang muda, beberapa di antaranya adalah Brigjen Pol (Purn) Jeanne Mandagi, diketahui sebagai polwan pertama Indonesia yang meraih pangkat jenderal, beliau meraih pangkat Brigadir Jenderal Polisi pada tahun 1991 di usia 54 tahun. Sosok perempuan lain yang berhasil mencapai posisi jenderal di usia yang cukup muda adalah Irjen (Purn) Juansih, beliau meraih pangkat jenderal pada tahun 2017 di usia 53 tahun, sebelum memasuki masa purna tugas beliau bahkan berhasil mencapai pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Profesi lain yang tercatat masih didominasi oleh laki-laki adalah arsitek, masih sulit untuk perempuan mendapatkan perhatian di dunia arsitektur hingga saat ini. Namun hal tersebut tidak menghentikan beberapa arsitek perempuan Indonesia untuk berkarya, diantaranya adalah Dana Suryawinata, seorang arsitek urban planner yang berhasil memenangkan penghargaan International Architizer A+Award pada tahun 2020 untuk kategori Institutional-Libraries melalui karyanya yang bertajuk “Microlibrary Warak Kayu”, satu tahun kemudian karya yang sama kembali meraih penghargaan Building of the Year 2021 dari ArchDaily. Arsitek perempuan lain yang berhasil mengukir prestasi adalah Nabila Larasati Panaroto, melalui karya bertajuk “A Living Organism” yang merupakan bentuk keprihatinannya pada fenomena global warming, karya tersebut memenangkan Coup de Coeur Award kategori “Architecture and Sea Level Rise” dalam ajang penghargaan tahunan di bidang arsitektur lingkungan oleh Jacques Rougerie Foundation, Prancis.
Meski seiring terus digaungkannya isu kesetaraan gender dan semakin banyak perempuan yang turut membuktikan diri mampu berdiri di tempat yang sama dengan laki-laki, bukan berarti perjuangan dan masalah yang dialami para perempuan begitu saja selesai. Perbaikan atas sistem yang telah berlaku dalam waktu lama tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat, masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang menganggap perempuan tidak memiliki kepentingan di luar urusan rumah, masih banyak pula profesi serta bidang keilmuan yang sarat akan partisipasi perempuan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk terus menyerukan dukungan kepada pada perempuan di sekitar kita untuk mereka berani bermimpi dan memilih di mana ia ingin berdiri di dunia.
Reporter: Syifa Gardenia Augusta
Editor: M. Roby Septiyan