Being Productive is not Always Positive: Yuk, Kenali Tanda Kamu Terjebak dalam Toxic Productivity!

toxic productivity
toxic productivity
(Sumber foto: https://womenspost.ca/when-should-we-start-work/)

Sobat Warta mungkin sering melihat banyak teman-teman yang membagikan rutinitas barunya di kala pandemi lewat sosial media. Kegiatan mulai dari memasak, berkebun, hingga mempelajari bahasa-bahasa baru kerap dilakukan untuk mengisi waktu luangnya. Hal tersebut tak jarang memotivasi diri kita untuk melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih, sehingga tak sadar menjadikan mereka standar ukuran produktivitas. 

Akan tetapi, ketika kita berhasil berada di tempat yang sama dengan mereka, bukan rasa puas yang kita dapatkan, melainkan adanya perasaan baru yang memacu diri untuk bisa lebih produktif lagi, dan pada akhirnya menetapkan standar yang lebih tinggi untuk diri sendiri, dengan banyak mengesampingkan kebutuhan sehari-hari, termasuk beristirahat.

Fenomena seperti itu cukup sering ditemukan pada saat ini, dimana orang-orang beralih dari Fear of Missing Out menjadi Fear of not Productive. Disini lah pembatas antara toxic productivity dan health productivity menjadi kabur, sehingga kegiatan yang ditujukan untuk membuat kita lebih produktif, secara tidak sadar justru berbalik menjadi mengarah pada suatu kondisi yang disebut “Toxic Productivity”.

Apa sih Toxic Productivity itu?

toxic productivity
(sumber: https://www.economist.com/1843/2020/11/30/from-zumping-to-toxic-productivity-workplace-slang-for-the-pandemic)

Menurut dr. Julie Smith, seorang psikolog dalam wawancaranya bersama BBC, Toxic Productivity adalah suatu obsesi akan produktivitas atau peningkatan diri yang menyebabkan tidak peduli seberapa produktifnya kita, akan selalu ada perasaan bersalah ketika tidak melakukan hal yang lebih.

Lalu mengapa bisa terjadi seperti itu? 

Toxic productivity sebenarnya hadir tak terlepas dari budaya kita yang lebih mengapresiasi dan terkesima dengan seseorang yang memiliki banyak kesibukan, dibandingkan mereka yang beristirahat setelah menempuh lelahnya hari. Akibatnya, ada keinginan untuk bisa menjadi bagian dari mereka yang memiliki segudang kegiatan.

Nah, apakah Sobat Warta merasa terjebak dalam lingkaran toxic productivity ini? Yuk kenali tanda-tandanya sebelum kondisi ini melekat lebih jauh di dalam diri kita!

3 Tanda Kamu Terjebak Toxic Productivity

1. Selalu Merasa Tidak Cukup atau Tidak Puas

Ciri pertama dari toxic productivity ditandai dengan perasaan selalu tidak puas atau tidak cukup, padahal sudah melakukan banyak hal. Perasaan ini biasanya muncul karena takut akan kegagalan atau tertinggal dari orang lain. Sehingga ada tuntutan dalam diri untuk terus menerus bekerja keras.

Demi memenuhi tuntutan tersebut, tak jarang kebutuhan utama seperti makan, minum, tidur, bahkan bersosialisasi dengan orang lain jadi terabaikan. Akibatnya, hal tersebut dapat mengganggu kesehatan, hubungan, hingga well-being atau kesejahteraan diri sendiri.

2. Menetapkan Goals yang Tidak Realistis untuk Diri Sendiri

Setiap orang pasti memiliki standar dan goals mereka masing-masing. Menjadi situasi yang paling membahagiakan bila hal tersebut dapat tercapai dengan baik. Namun, terkadang goals yang kita tetapkan sendiri justru secara tak sadar berada di luar batas kemampuan kita, bahkan tidak realistis.

Efek dari goals yang tidak realistis akan terasa saat Sobat Warta gagal dalam mencapainya. Pada situasi tersebut, kalian bisa mengalami stress dan menyalahkan diri sendiri. Tak jarang pula kalian akan lebih ‘keras’ pada diri sendiri, bahkan menetapkan punishment untuk kegagalan yang dialami. Hal ini sebisa mungkin harus dihindari, sebab dapat berakibat buruk, terutama untuk kita yang masih mahasiswa.

3. Kesulitan untuk Beristirahat atau Berhenti Sejenak

Ketika kalian memiliki ekspektasi yang tinggi dan selalu merasa tidak puas akan sesuatu, istirahat menjadi hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Rasa bersalah akan menghantui ketika memutuskan untuk berhenti sejenak. Diri kalian merasa hampa saat memutuskan untuk diam atau meninggalkan pekerjaan, hingga melabeli diri “tidak produktif”.

Sobat Warta yang terjebak dalam toxic productivity ini cenderung menilai diri lebih rendah dari orang lain saat kalian tidak mengerjakan sesuatu. Sehingga pada momen kalian harus berhenti untuk berkumpul dengan teman atau keluarga misalnya, ada perasaan gelisah yang membuat orang-orang menyadari bahwa diri kalian sebenarnya “tidak hadir” disana.

Bahkan ketika ingin tidur pun, pikiran selalu tertuju pada setumpuk pekerjaan dan planplan ke depannya. Ini dapat berbahaya karena mengurangi waktu dan kualitas tidur, yang dapat berdampak pada permasalahan kesehatan jika terus dibiarkan.

 

5 Cara Mengurangi Toxic Productivity

Jika Sobat Warta sudah membaca tanda-tanda di atas dan merasa bahwa kalian terjebak dalam toxic productivity, maka tidak perlu panik! Kalian tidak sendiri dan tidak perlu bingung harus berbuat apa. Mengutip dari web Create Cultivate, ada sejumlah cara yang bisa Sobat Warta lakukan untuk membangun produktivitas yang lebih sehat.

1. Menetapkan Goals yang Realistis dan Fleksibel

Sobat Warta pasti sudah terbiasa untuk menetapkan sejumlah goals yang ingin dicapai. Agar terhindar dari toxic productivity, buatlah goals yang memang sesuai dengan kapasitas juga kemampuan kalian. Tak lupa buat sefleksibel mungkin, sehingga kalian tidak merasa tertekan dan lebih leluasa jika ingin melakukan perubahan.

Ingat! Be the best version of you, not anyone else. Cukup bandingkan diri kamu dari hari kemarin, bukan orang lain.

2. Penting untuk Berhenti Sejenak dan Beristirahat

Istirahat bukan sesuatu yang menunjukkan kelemahan. Setiap orang perlu beristirahat untuk recharge energi setelah beraktivitas. Biasakan menyisihkan waktu untuk istirahat di tengah kesibukan, bukan saat di ambang kelelahan. Orang-orang yang beristirahat akan terlihat lebih fresh dan merasa lebih baik ketika akan melanjutkan pekerjaannya.

Teknik Podomoro menjadi cara yang bisa dilakukan Sobat Warta untuk tetap bekerja sembari istirahat sesekali. Keep on track, but don’t forget to take a break.

3. Berlatih Mindfulness

Mindfulness adalah cara yang membantu kita terhubung dengan diri kita sendiri dan mengajak untuk mengamati serta menerima hal yang terjadi di sekitar tanpa memberi judgement atau penghakiman.

Dengan mindfulness, Sobat Warta belajar untuk lebih memahami kebutuhan dan keinginan tubuh sendiri. Sehingga hal ini baik untuk kesehatan, terutama dapat meningkatkan fungsi otak dalam membentuk pikiran yang logis dan kritis. Mindfulness memberi kesempatan untuk memahami keadaan dengan cara yang lebih dewasa dan pastinya sehat.

4. Memberi Batasan yang Jelas untuk Diri Sendiri

Agar tidak melampaui batas, Sobat Warta harus bisa tegas untuk diri sendiri. Buatlah batasan yang sesuai dengan kebutuhan kalian. Misalnya, tidak bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu, wajib makan setidaknya 2x sehari, tidur minimal 6-8 jam sehari, dan berbagai batasan lainnya. 

Hal ini dapat membantu kalian untuk lebih disiplin dan tidak semena-mena terhadap diri sendiri.

Boundaries does not mean you’ll have limited activity. It’s just the way to help you get a better productivity.

5.  Jangan Lupa Apresiasi Diri Sendiri

Terlalu sering bekerja secara tak sadar membuat kita lebih ‘keras’ terhadap diri sendiri. Mulailah melihat diri sendiri sebagai seseorang yang berharga dan patut diapresiasi, sebagaimana kita melakukannya kepada orang lain.

Self-appreciation akan berbeda pada setiap orangnya. Ada yang melakukannya dengan menonton, hangout, hingga belanja. Jika tidak sempat melakukan kegiatan tersebut bukanlah masalah, cukup katakan “You did your best, and it’s okay to take a rest” pada diri sendiri sebelum tidur. Hal itu akan membuat kalian merasa lebih tenang.

Toxic Productivity sebenarnya bukan menyalahkan mereka yang memiliki banyak kesibukan. Karena sejatinya, produktivitas adalah hal yang baik. Namun tetap ingat untuk tidak berlebihan dan tau batasan.

Jika Sobat Warta masih merasakan hal-hal di atas, it’s okay untuk meminta bantuan professional.

Whoever read this, just remember. You are worth the world.

Penulis: Nanda Eka Fitriani

Editor: Malika Ade Arintya dan Alya Fathinah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *