Konferensi Pers International Women’s Day 2023: Think, Agitate, Organize! Our Work Matters!

Loading

Para pembicara menyampaikan statement tentang ketidakadilan perempuan (foto: Kharina Putri R.)

JATINANGOR, Warta Kema Aliansi Simpul Puan menyelenggarakan Konferensi Pers International Women’s Day 2023 pada Sabtu (4/3) sebagai bentuk kegiatan pre-event menuju aksi International Women’s Day (IWD) 2023 tanggal 8 Maret 2023. Konferensi pers dilaksanakan di Bale RW 02, Dago Elos, Bandung. Tema IWD Bandung 2023 adalah “Think, Agitate, Organize! Our Work Matters!”. 

Dalam konferensi pers tersebut, telah hadir lima pembicara dari empat komunitas, yaitu Sektor Perempuan Kampung Kota dan Forum Dago Melawan, Ayang, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Militan, Aan Aminah, Ketua Srikandi Priangan, Farah, Srikandi Pasundan Kabupaten, Reza, dan Gender Student Research Centre (Great) UPI, Nida.

Masing-masing pembicara memberikan pernyataan terkait permasalahan pada perempuan dalam berbagai bidang. Perempuan seringkali mengalami permasalahan yang sangat pelik, baik dari segi ekonomi, psikis, lingkungan sosial, keamanan, hingga keberadaan hak dan kewajiban di muka publik. 

Pernyataan pertama disampaikan oleh Ayang yang mengungkapkan keadaan para perempuan di tengah penggusuran lahan di Kampung Dago Elos. Perempuan seringkali menjadi pihak yang menanggung beratnya dampak penggusuran.

“Saat terjadi bentrokan antara aparat kepolisian yang mempertahankan lahannya, aparat seringkali menggunakan kekerasan dan upaya paksa sehingga perempuan sering menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Sementara itu, pada anak-anak, penggusuran sangat berdampak pada gangguan psikologis yang berupa traumatis dan stres,” tutur Ayang. 

Pernyataan kedua dilanjutkan oleh Aan Aminah. Aminah banyak membahas mengenai ketidaksetaraan hak dan kewajiban antara buruh perempuan dan laki-laki, terutama sejak pandemi Covid-19. 

(foto: Kharina Putri R.)

“Karena apa? Kami, buruh, terutama buruh perempuan, adanya Covid-19 ini bener-bener sangat dirugikan. Karena perusahaan justru memanfaatkan Covid-19 untuk mem-PHK buruh-buruh perempuan karena banyak tuntutan gitu ‘kan, jadi (buruh perempuan) dianggap menjadi penghalang bagi perusahaan. Dari dampak Covid-19 itu sendiri, setelah kami di-PHK juga kami tidak mendapatkan pesangon,” tutur Aminah.

Bersama dengan para buruh lainnya, Aminah menegaskan bahwa beliau akan menuntut dihapusnya omnibus law dan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT), serta meminta hari Perempuan dijadikan sebagai hari libur nasional.

Ketidaksetaraan tidak hanya dirasakan oleh perempuan, tetapi juga oleh para transpuan. Hal ini disampaikan oleh Farah dan Reza. Farah mengungkapkan banyaknya ketidakadilan bagi transpuan di Bandung. Selain dirundung kekerasan, transpuan seringkali menghadapi kesulitan untuk mengakses pekerjaan umum. 

“Selama ini masih banyak kekerasan terhadap komunitas seperti persekusi, dan banyak juga ya transpuan Kota Bandung itu (merasakan) sulitnya akses untuk mendapat pekerjaan. Melihat penampilan sudah di-stop, sudah tidak bisa, padahal skill-nya sudah punya gitu,” ucap Farah.

Kesulitan mencari kerja bagi para transpuan juga dilengkapi oleh pernyataan Reza bahwa transpuan tidak dapat mengekspresikan diri mereka dan cenderung dipinggirkan jika ada acara publik.

(foto: Kharina Putri R.)

 

Pernyataan terakhir disampaikan oleh Nida. Nida menyampaikan bahwa perjuangan para perempuan melawan kekerasan berbasis gender tidak akan pernah berhenti sampai kekerasan tersebut benar-benar hilang. 

“Selama bertahun-tahun, kasus kekerasan berbasis gender dan seksual masih terjadi di lingkup kampus. Disahkannya UU TPKS dan Permendikbud 30 (Permendikbud No. 30 Tahun 2021) bukan menjadi akhir dari perjuangan kita. Tentunya, akhir dari perjuangan kita adalah menghapuskan kekerasan berbasis gender seksual itu, bahkan di lingkup kampus yang seharusnya orang dapat menjadi dirinya sendiri,” jelas Nida.

Nida juga menerangkan, dengan hadirnya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pun bukan berarti kekerasan berbasis gender lantas hilang begitu saja. Justru, pembentukan Satgas PPKS di lingkungan kampus masih harus dipertanyakan karena mekanisme pembentukannya yang belum bersifat transparan berdasarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Jangan sampai pembentukan Satgas PPKS hanya karena diiming-imingi akreditas baik. 

 

Reporter: Soraya Firmansjah, Zulfa Salman

Penulis: Soraya Firmansjah

Editor: Khansa Nisrina P.

Foto: Kharina Putri R.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *