Hustle Culture Merebak, Mahasiswa Terjebak

Hustle Culture

Selamat datang di tahun ajaran baru, Sobat Warta! Tidak terasa ya, waktu terus berjalan hingga kita harus berpisah dengan liburan. Sudah selayaknya, kita memulai semester baru ini dengan semangat baru.  Tidak sedikit mahasiswa yang membuat target-target pencapaian tertentu dan menyibukkan diri di berbagai kegiatan agar tetap produktif. Terdengar hebat, ya?
Eits, tapi Sobat Warta tahu nggak sih kalau produktivitas yang berlebihan dapat mengarahkan kita ke arah negatif, lho. Gaya hidup yang “gila kerja” ini kerap disapa dengan Hustle Culture. Fenomena ini tidak jarang ditemukan, terutama di kalangan generasi milenial.

Dikutip dari artikel di laman resmi milik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Hustle Culture dapat dilihat sebagai sebuah gaya hidup di mana seseorang bekerja secara terus-menerus dan nyaris tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Selain mengancam kesehatan mental, Hustle Culture juga memiliki efek domino terhadap hubungan sosial kita. Bahkan, di beberapa kasus hal ini berujung pada kematian.

Hustle Culture
(Sumber foto: Dok. Pribadi)

Pastinya Sobat Warta nggak mau ikut terjebak dalam “lingkaran setan” ini, kan? Yuk, simak beberapa hal yang perlu Sobat Warta ketahui agar dapat terhindar dari Hustle Culture di bawah!

Stop Comparing Yourself To Others

Tahukah Sobat Warta, kalau dengan membandingkan diri kita dengan orang lain secara berlebihan dapat menjadi awal terjebaknya kita ke dalam Hustle Culture?

Memang di era digital seperti sekarang ini, sulit rasanya untuk tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, terlebih lagi ketika kehidupan mereka ditampilkan di sosial media. Selain itu, ketika membandingkan diri dengan orang lain, kerap kali perbandingan yang ada tidaklah apple-to-apple. Dengan kata lain, kamu membandingkan kelebihan orang lain dengan kekurangan kamu.

Sobat Warta perlu sadar bahwa apa yang kamu lihat di sosial media tidaklah merepresentasikan keseluruhan hidup orang lain. Dibandingkan fokus dengan kelebihan orang lain, alangkah lebih baiknya kalau kita fokus terhadap kelebihan diri kita sendiri.

Jika sudah berhasil untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan, perlahan kamu juga akan berhenti merasa “dikejar” dengan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kamu terjebak dalam Hustle Culture.

More Time Working Does Not Equal To More Productivity

Hasil penelitian dari John Pencavel, seorang ilmuwan di Stanford University yang dikutip dari lama Two Week Notice Society, menemukan bahwa seseorang yang bekerja selama 70 jam dalam satu minggu tidak menunjukkan hasil pekerjaan yang jauh berbeda dengan orang yang bekerja selama 50 jam dalam satu minggu. Data ini menunjukkan bahwa dengan memperbanyak jam kerja, bukanlah produktivitas yang kita dapatkan, melainkan ancaman terhadap kesehatan mental. Seseorang yang gila bekerja tentunya memiliki probabilitas terkena stres lebih besar.

Dibanding memilih untuk kerja keras, lebih baik untuk memilih kerja cerdas. Misalnya, jika kamu memiliki waktu selama 5 jam untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, alangkah baiknya kamu hanya menggunakan 3 jam untuk bekerja dan 2 jam sisanya untuk istirahat sembari crosscheck pekerjaan yang ada. Jika menggunakan 5 jam secara penuh untuk berkutik di pekerjaan yang sama, artinya kamu jahat dengan tubuhmu karena tidak memberikan ruang untuk beristirahat.

Know Your Own Limits!

Sobat Warta, sangatlah penting untuk kita mengetahui batasan diri kita sendiri, baik fisik maupun mental. Pada dasarnya, kita dan tubuh kita dapat berkomunikasi lewat berbagai rasa yang kita rasakan seperti sakit, sedih, lelah, senang, dan lain sebagainya. Maka dari itu, ketika Sobat Warta mulai merasakan perasaan yang tidak menyenangkan ketika sedang mengerjakan sesuatu, lebih baik untuk berhenti mengerjakannya.

Perlu diingat bahwa apapun yang dilakukan secara berlebihan bukanlah hal yang baik, sekalipun dalam hal pekerjaan. Tidak ada arti usaha mati-matian yang dilakukan, jika dikemudian hari kita sendiri tidak dapat menikmati hasil dari usaha-usaha tersebut.

It’s Okay To Slow Down

Keadaan dunia serba cepat, memang memaksa kita untuk terus bergerak. Namun, jika dilakukan secara terus menerus tentunya hal tersebut bukanlah hal yang baik. Perlu diketahui bahwa tubuh kita bukanlah sebuah mesin yang dapat bekerja tanpa henti.

Dengan berkata “tidak”, bukan berarti kamu akan dibenci. Dengan menyenangkan diri sendiri, bukan berarti kamu jahat terhadap orang lain. Dengan bergerak perlahan, bukan berarti kamu akan tertinggal.

Pesan terakhir yang ingin Warta Kema sampaikan adalah “it’s okay to slow down”. Pada akhirnya, hidup ini bukanlah perihal siapa yang memimpin, melainkan siapa yang berhasil mencapai garis akhir.

Semangat Sobat Warta dalam menjalankan kehidupan perkuliahannya. Jangan terlalu memaksakan diri, ya!

Penulis: Zalfaa Arza Fawwaz

Editor: Malika Ade Arintya

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *